Demonstrasi besar yang berlangsung pada 28-30 Agustus 2025 tidak hanya mengguncang aspek politik, tetapi juga menghentikan denyut perputaran uang di pusat-pusat kota.
Rantai ekonomi harian yang biasa menghidupi jutaan masyarakat kecil dan UMKM tiba-tiba terputus.
Pedagang kaki lima kehilangan pembeli, toko dan kios di sekitar sentra ekonomi menutup pintu, serta pekerja harian tidak memperoleh pendapatan.
Kehilangan omzet ini, meski tampak mikro, bila dijumlahkan secara makro menghasilkan kerugian bernilai triliunan rupiah.
Transportasi publik adalah jalur utama peredaran uang itu. Kereta api komuter Jabodetabek yang setiap hari mengangkut lebih dari 1 juta penumpang (KAI Commuter, 2024) terhenti berhenti di beberapa jalur
Produktivitas pekerja yang terhambat diperkirakan menghilangkan output Rp3-5 triliun per hari, atau Rp9-15 triliun selama tiga hari.
Pendapatan tiket operator yang hilang (Rp5-7 miliar per hari) memang kecil, tetapi efek terbesar adalah mandeknya aktivitas ekonomi di hulu dan hilir: pekerja tak sampai di kantor, distribusi barang tersendat, dan UMKM kehilangan pelanggan.
Kota Jakarta mengalami dampak paling nyata. Dengan konsumsi harian masyarakat sekitar Rp5-6 triliun (BPS DKI, 2024)
Penurunan aktivitas 30-40% akibat penutupan pusat perbelanjaan, kawasan bisnis, dan UMKM berarti kehilangan Rp1,5-2 triliun per hari.
Dalam tiga hari, nilainya Rp4,5-6 triliun. Perputaran uang di Jakarta yang biasanya menggerakkan jasa transportasi, kuliner, ritel, hingga sektor informal, berhenti mendadak.
Kerusakan aset fisik menambah beban. Lima gedung yang terbakar ditaksir menimbulkan kerugian Rp500 miliar-Rp1 triliun. Sekitar 20 halte TransJakarta yang rusak atau dibakar memerlukan Rp60-100 miliar untuk dibangun kembali.
Ditambah perusakan lampu jalan, pagar pembatas, dan sarana kota lain, kerugian sarana-prasarana publik mencapai Rp800 miliar-Rp.1,4 triliun.
Biaya keamanan juga tidak kecil. Dengan membandingkan pola pengeluaran pengamanan Pemilu 2024 dan Asian Games 2018, pengamanan aksi massa besar seperti ini diperkirakan menelan Rp80-120 miliar per hari.
Selama tiga hari, biayanya Rp240-360 miliar. Ditambah layanan kesehatan darurat dan kompensasi kerusakan infrastruktur, beban fiskal negara bisa mencapai Rp500-700 miliar.
Jika seluruh faktor digabungkan hilangnya perputaran uang masyarakat/UMKM, terhentinya kereta api, turunnya konsumsi Jakarta, kerusakan aset gedung dan sarana kota, serta biaya keamanan total estimasi kerugian 28-30 Agustus 2025 mencapai Rp29,5-44 triliun.
Nilai ini hampir setara 0,2% PDB nasional yang hilang hanya dalam tiga hari. Peristiwa ini menunjukkan betapa rentannya struktur ekonomi perkotaan yang sangat bergantung pada kelancaran transportasi dan stabilitas sosial.
Yang hilang bukan hanya angka transaksi, tetapi kepercayaan masyarakat kecil yang kehilangan pendapatan dan investor yang melihat risiko meningkat.
Seperti ditegaskan Keynes, ketidakpastian ekspektasi pelaku ekonomi adalah penyebab utama melambatnya konsumsi dan investasi.
Jika tidak dipulihkan dengan cepat, kerugian jangka pendek ini akan meninggalkan bekas panjang pada pertumbuhan kuartal III-2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI