Tak banyak ekonom yang bisa ditulis dengan pelan. Tak banyak pejabat yang bisa dikenang dengan tenang.
Kwik Kian Gie adalah pengecualian. Ia seperti catatan kaki dalam sejarah besar ekonomi Indonesia. Tapi catatan kaki itulah yang sering menjelaskan isi paragraf paling penting.
Ada orang-orang yang lahir bukan untuk membenarkan keadaan. Ia hadir justru untuk menjadi suara kecil yang terus-menerus mengganggu ketenangan yang pura-pura.
Dalam dunia ekonomi yang sibuk dengan angka, formula, dan konsensus para pakar, orang seperti itu tak mudah dicari. Tapi pernah ada satu. Ia berjalan pelan, bersuara datar, tapi menolak ikut arus.
Ia bernama Kwik. Tapi ia tak pernah membesarkan nama itu. Ia lebih senang bicara tentang petani, tentang ongkos angkut beras, tentang koperasi yang hidup segan tapi mati tak boleh. Di tangannya,ekonomi bukan keahlian, tapi empati.
Ia pernah menempuh perjalanan jauh menuju gelar doktorandus. Ia mengunyah pelan-pelan ilmu ekonomi dari sekolah-sekolah Belanda dan Jerman. Tapi ilmu itu tidak ia pakai untuk membuat dirinya lebih tinggi dari orang lain.
Ilmu itu ia kembalikan pada rakyat, seperti anak yang membawa pulang kabar baik dari negeri jauh: bahwa tak semua harus dijual, tak semua harus tunduk pada pasar.
Ekonomi, katanya, tidak bisa dilepaskan dari etika. Dari tanggung jawab pada yang lemah. Ia tak pernah percaya bahwa pasar bisa menjaga dirinya sendiri. Ia mengingatkan,
"Pasar bebas hanya bisa adil jika semua pelakunya punya kekuatan yang seimbang. Di luar itu, ia hanya menjadi ruang sunyi tempat yang besar memangsa yang kecil."
Ia menyukai angka, tapi lebih mencintai orang-orang yang berada di balik angka itu. Ia khawatir saat PDB tumbuh tapi upah riil tak bergerak.