Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tausiah Ustaz Prof Emil Salim

16 April 2021   17:47 Diperbarui: 16 April 2021   18:53 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto : cedrsolutions.com)

Terlepas dari perdebatan lama yang sedikit men-jengeknya sebagai komplotan mafia Berkeley, apa-apa yang bikin prof Emil mawas, itu pula yang bikin kita turut cemas.

Terkadang juga greget. Bahwa politik kita minim sense of core development dalam urusan Indonesia 2030 atau 2045. Sungguh-sungguh ini omongan prof Emil.

Berikan contoh, dimana sense of core development dalam skema politik Indonesia di tahun 2030 dan 2045? Berikan satu saja contoh juga tidak apa.

Bilapun ada dua contoh, maka patutlah rasa puji Tuhan, kita acungkan dengan kesungguhan, dengan kaki menjinjit dan tangan menengadah ke langit. Sungguhpun kalau benar-benar ada satu atau dua contoh.

Politik kita cuma siklus lima tahunan. Maka baru 2021, orang-orang sudah bicara koalisi 2024 dengan berupa-rupa kemasan. Yang diomongin juga hal yang melulu sama, soal kalah menang.

Maka alangkah terkaget-kagetnya prof Emil, kala pandemi Covid-19, malah UU Minerba yang disahkan tanpa suatu aral. Itupun, urusannya cuma menganggap regulasi lingkungan cuma barrier yang merintangi investasi.

Meski guratan-guratan garis keriput penuhi wajahnya, mimik kegusaran, begitu tampak menyembul dari mukanya. Apa urusannya Covid-19 dengan UU Minerba?

Satupun tak bisa menjawab, selain dugaan kepentingan cukong. Prof Emil omong ihwal ini sembari tepuk jidatnya, hingga nyaris saja terpental ke belakang.

Prof Emil, sosok yang selalu mendudukkan aspek tata ekologi sebagai poros penting ekonomi hijau. Itupun ia sadar, setelah diwanti-wanti Gandhi di meja makan dalam sela-sela suatu perhelatan tentang global environmental sustainability.

Di tengah satu atau dua suap kari dan roti cane di rumah Gandhi itulah, prof Emil dimewanti-wanti, bahwa bila hutanmu rusak/deforestasi, atau kau ekspor hutanmu untuk bayar hutang, maka itu kian melukai orang-orang miskin. Itulah yang menyadarkan prof Emil.

Namanya juga obrolan ngalor ngidul. Omongannya nyangkut kemana-mana. Dalam satu urusan dibahas separuh-separuh. Ada yang panjang ulasannya, ada yang singkat saja. Saya pun menangkap seperlunya saja.

***

Dari pada melihat manuver buzzer di lini masa yang tak karuan-karuan, terlintaslah begitu saja podcast Endgame punya Gita Wirjawan di hadapan layar dawai. Sosok yang kalau ngomong Inggris, pronounce-nya bagus bukan main.

Tempo, sebelumnya, Endgame-nya pak Gita, mengundang Mardigu dengan ide-ide yang terdengar keblinger dan terkadang songong. Apa-apa maunya berantem saja. Entah itu ekonomi, ekonomi politik, terlebih-lebih politik praktis.

Namun kali ini narasumbernya prof Emil Salim. Keduanya bicara congkah-cangkih. Dari soal gemeinschaft and gesellschaft lalu merambat kemana-mana hingga ke Al Khawarizmi. Ilmuwan Islam yang tak terkira legacy-nya kepada dunia.

Tempo pada bagian Al Khawarizmi inilah, Prof Emil terkagum-kagum, bahwa betapa Islam di masa itu ((786-809 M), telah meng-influence empirical science. Al Khawarizmi yang kemudian melahirkan aneka ilmu matematik seperti ilmu Al Jabar, Algoritma dalam wadah yang bernama Baitul Hikmah alias House of Wisdom di Baghdad

Menurutnya, passion Islam sekarang berbeda sama sekali. Justru sekarang, influence Islam cenderung politik kubu-kubuan tak terkira ruwetnya. Ia mengimpikan Islam seperti di era Al Khawarizmi itu. Mampu meninjeksi suatu peradaban dengan ilmu pengetahuan dan derivasinya. .

Alangkah gregetnya Prof Emil, ingin melihat influence Islam di abad 7-8 Masehi. Era dimana Eropa di puncak kegelapannya sementara, Islam begitu mencerahkan.

Pada bagian gemeinschaft, di uraikanlah prof Salim tentang budaya latar Minangnya, yang mana orang di Minang sana yang menjurus pada gemeinschaft, atau hidup berkoloni dalam budaya Surau hingga konon ada inisiatif membikin Surau global.

Dalam kecenderungan gemeinschaft itulah, keinginan tiap individu tergencet sedemikian rupa, hingga kepentingan kolektif yang dikedepankan. Gemeinschaft di mata prof Emil, justru terbantu dengan era digital.

Orang kembali hidup dalam koloni-koloni, dengan---dibantu transmisi digital dengan pikiran "kami adalah kita." Maka era digital, tidak mesti menjurus pada gesellschaft-individualistik.

Hingga prof Emil mampir juga pada soal kualitas pendidikan di Indonesia. Diantaranya soal indeks PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang mangkrak di posisi 60-an dari 70 negara.

Tak ketinggalan Indeks literasi Indonesia yang rendah. Untuk peringkat Matematika RI di peringkat 72 dari 78 negara. Dari satu setengah dekade ini, PISA indeks RI begitu-begitu saja.

Entah apa pokok soalnya, pelajar Indonesia begitu lemahnya dalam soal matematika. Entah kurang protein atau apa dalam batok kepala. Dus, soal stunting juga menjadi soal serius sehingga menjurus pada tingkat kecerdasan rata-rata anak RI di bidang empirical science.

Disitulah prof Emil merenung-renung, kala ia melihat lubang-lubang tambang di Papua sana. Berapa sih, lubang-lubang tambang di Papua itu, resource-nya digunakan meningkatkan IQ anak-anak di Papua? Sekali lagi berapa?

Berapa sih, tambang batu bara, minyak, dan emas di Kalimantan sana, mengkonversi resource-nya dengan peningkatan IQ anak-anak di Kalimantan? Itulah yang membuatnya heran, tambang makin banyak, tapi indeks PISA tetap mangkrak.

Itu karena, resource dari pertambangan itu, tidak digunakan sebagaimana mesti, untuk meningkatkan IQ anak-anak Papua ataupun di Kalimantan termasuk dan disubsidi ke NTT. Lalu kemana?

Uangnya berputar-putar dan keluar masuk dalam mata rantai orang-orang yang sama. Yakni 20% orang yang menguasai 80% aset/kekayaan negara. Indeks Ketimpangan, menggambarkan, uang hasil tambang tidak meleleh ke bawah.

Lalu pertanyaannya, kalau indeks PISA yang rendah, kenapa pindah ibukota negara yang dibangun? Sekelas Emil salim saja bingung alang kepalang kenapa demikian. Lantas bagaimana saya? Bersambung.....

Selamat berbuka puasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun