Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wanti-Wanti Bang Zul Hasan

15 April 2021   16:42 Diperbarui: 15 April 2021   20:46 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zulkifli Hasan bersama Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi saat panen raya padi di hutan milik Perum Perhutani di Desa Wanawali, Cibatu, Purwakarta, Jawa Barat (Sumber : Antara)

Namun ujung-ujungnya kala BPS -meng- announce data per Agustus 2020, pendapatan petani terperosok di antara 17 sektor GDP tersebut. Ini yang bikin heran alang kepalang.

Rata-rata upah/gaji/pendapatan bersih sebulan pekerja pada Agustus 2020 sebesar Rp2,45 juta. Dari 17 lapangan pekerjaan utama, sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan merupakan yang terendah, hanya sebesar Rp1,36 juta.

Dari 17 lapangan pekerjaan utama, sektor Pertanian adalah yang terendah. Hanya sebesar Rp1,36 juta. Turun dibanding Agustus 2019 (Rp1,49 juta) dan Februari 2020 (Rp1,48 juta).

Sudah tentu kalau bicara 17 sektor GDP tersebut, pokok temanya adalah nilai tambah terhadap output GDP. Nilai tambah sektor pertanian tumbuh positif, tapi nilai tambah terhadap petaninya terkoreksi. Apa soal?

Diantaranya adalah terkait ketergantungan terhadap pangan impor. Misalnya, dikala neraca beras kita dibilang cukup untuk penuhi kebutuhan nasional hingga semester I 2021, ada saja yang kepengen impor. Spekulasi itu menyebabkan gejolak harga. Efeknya menyeruak hingga ke harga gabah dan nilai tukar petani.

Waktu saya bincang-bincang seorang teman yang notabene doktor ekonomi tentang impor. Sambil pegang buku statistik perdagangan yang tebalnya bukan main, dia bilang saya begini:

"kita ini berada pada perspektif yang mana? National gain atau produsen gain? Dua-duanya punya konsekuensi sendiri-sendiri."

Negara selalu berada pada logika national gain, karena impor itu sudah tentu murah. Kalau impor mahal, sudah pasti negara pikir dua atau tiga kali untuk impor. Saking murahnya, stok cukup pun pengen impor.

Andaikan saja negara adalah sosok yang songong dan cuek bebek tiada beban suatu apa, kira-kira nalarnya negara begini, kalau ada yang murah, kenapa mesti beli yang mahal?

Namun dari sisi produsen gain, itu merugikan industri dalam negeri. Nah sekarang kita pilih yang mana? Selaku negara, barang tentu berpihak pada produsen merah putih.

Pilih murah--hemat devisa. Atau membiarkan industri dalam negeri terhuyung-huyung hingga sebentar lagi terpelenting meski cuma disenggol angin sepoi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun