GDP itu cuma cara, norma untuk menghitung pertumbuhan ekonomi. Dia bukan cash.
Di dalam PDB juga ada aset asing. Yang mana, diantaranya bisa keluar, dan tak dihitung sebagai domestic resource. Contoh, kita punya banyak unicorn, tapi justru potensi capital flight lebih besar. Uangnya cenderung keluar, karena mayoritas saham unicorn itu punya asing.
Kembali ke soal, bahwa utang juga bisa dilihat dari debt to income ratio. Itu yang lebih riil menggambarkan posisi cash atau seperti apa kemampuan bayar. Atau dengan cara, melihat persentasi ratio bunga hutang terhadap pendapatan negara. Silahkan dicek.
Dus, semakin besar rasionya, maka akan makin mempersempit penguatan ruang belanja. Demikianpun sebaliknya.
Dan ada beberapa metode lain. Lantas, lihatlah pendapatan negara beberapa tahun terakhir. Cenderung meningkat atau sebaliknya?
Diksi "menantang," menggambarkan seorang diktator. Fasis. Negara dengan infrastruktur kekuasaan, tak pantas menantang individu rakyat.
Biarkan public discourse mengalir. Negara dengan infrastruktur kehumasan, bekerja--menjelaskan di waktu dan ruangnya sendiri. Mosok baper dengan rakyat yang keritik?
Dalam negara demokrasi, tak ada discourse linear. Selalu ada hetero-discourse. Disitulah muncul nilai-nilai baru.
Soal pokok, hutang juga tak melulu dilihat nominalnya (debt to GDP ratio). Perlu dilihat strukturnya.
Struktur hutang pemerintah, 82% porsinya ke SBN. Doyan hutang ke pasar bebas. Sementara pinjaman cuma 17%.