Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Masih Adakah Pancasila?

1 Juni 2020   12:18 Diperbarui: 1 Juni 2020   13:10 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto :nasional.kompas.com)

Bisa jadi nama Prakoso Sakti itu oversupply. Malah bajingannya menjadi-jadi. Ayahnya limbung. Pikir punya pikir, mungkin ditambah satu nama lagi; berhawa-hawa agama.

Beranjak masuk SMA, bapaknya hendak menambah satu nama lagi untuk Prakoso Sakt. Muhammad. Menjadi Muhammad Parkoso Sakti. Harapannya, nama Muhammad memberi hawa baru agar merubah tabiat si anak dari banal dan badung, menjadi saleh. Saya baru ingat, kenapa, diawal-awal tak beri nama Saleh Prakoso?

Satu hari jelang Selamatan, Prakoso koma di rumah sakit. Ia ditawur anak-anak kampung sebelah. Sebelum diberkati nama Muhammad Prakoso Sakti, ia keburu almarhum.

Tahun 1990, kala Perang Irak- Kuwait, tetangga saya di kampung kebelet demen dengan Saddam Hussein. Saban hari kerjanya cuma jemur baterai radio di atap rumah. Malamnya putar radio, menguping berita Irak vs Kuwait.

Dari tidur, bangun, lalu kembali tidur, yang diomong cuma sadam. Cuma ia satu-satunya orang kampung yang ngeh dengan politik Timur Tengah.

Saking demennya pada Saddam, kala bininya hamil tua, ia ancang-ancang beri nama anaknya; Saddam Hussein. Jika anaknya laki-laki. Alangkah kaget bukan kepalang, begitu si anak brojol, ternyata perempuan.

Si bapak limbung. Bagaimana cara menyematkan nama Saddam Hussein untuk si jabang bayi. Semacam antre BLT, begitu banyak antre usulan yang masuk dari lingkungan RT. Akhirnya, ia memilih nama SITI IRAK.

Kini siti Irak tumbuh besar, sebagai mana anak-anak gadis di kampung. Pergi sumur, ambil kayu bakar, mencuci, masak dan aneka rupa kegiatan perempuan desa. Tak kurang suatau apa. Tidak tomboy, apalagi jadi tukang gebuk antar kampung.

__

Bu Emitis di Brebes tak kuasa--pasrah, anaknya merenggang nyawa setelah digendongnya ke Puskesmas, berjalan kaki sajauh 1,5 km. Ica Selvia, bayi tuju bulan tak tertolong. Ia ditolak Puskesmas, gegara administrasi. Sejak itu saya anggap Pancasila sudah almarhum.

Di salah satu sesi acara ILC, budayawan Sujiwo Tejo menyebut "Pancasila itu ga ada." Yang ada cuma gambar garuda Pancasila. Bisa jadi Pancasila sudah almarhum. Ini dugaan saya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun