Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PNS dan Beban Belanja APBD

17 Desember 2012   07:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:30 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FITRA merilis pernyataan bahwa belanja pegawai mendominasi beban APBD kota/kabupaten di Indonesia. Pernyataan tersebut sebenarnya bukan hal baru, karena memang belanja pegawai menjadi beban 'berat' bagi APBD. Belanja pegawai menjadi anggaran terbesar di APBD dibandingkan dengan belanja lain-lain. Fakta ini menarik untuk dicermati secara kritis berkaitan dengan praktek tata kelola dalam pelayanan publik yang diemban oleh PNS. Apakah terjadi kesenjangan antara beban berat yang harus ditanggung oleh APBD dengan kualitas pelayanan publik yang menjadi kewajiban PNS kepada masyarakat?

Dalam pertanyaan yang diajukan diatas terkandung pemahaman bahwa besarnya anggaran belanja pegawai memiliki potensi untuk mengurangi substansi pengelolaan keuangan daerah yang pada hakekatnya untuk melayani kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat dimaksud adalah menyediakan berbagai fasilitas publik dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai yang digunakan untuk kepentingan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik.

Kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh PNS masih berstereotipe pelayanan yang lamban, tidak profesional, ingin dilayani, bernuansa KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) atau tidak ramah kepada masyarakat. Belanja pegawai berasal dari dana publik maka rakyat mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan yang baik, cepat, ramah dan tidak bernuansa KKN. Karena PNS adalah pelayan masyarakat, dalam hal ini perlu ditegaskan hakekat PNS sebagai pelayan masyarakat yaitu melayani kepentingan rakyat yang sudah membiayai belanja pegawai atau gaji bulanan PNS tersebut.

Masyarakat memiliki hak dan harus bisa memperoleh pemenuhan hak untuk memperoleh pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Beban belanja pegawai harus atau wajib dikonversi oleh setiap PNS yang menikmati gaji dari APBD/N menjadi pelayanan publik yang mengutamakan kepentingan rakyat yang dilayaninya. Pelayanan publik yang cepat, tertib, ramah dan bebas KKN. Untuk itu dibutuhkan mekanisme pengaduan yang mampu menampung dan menindaklanjuti setiap pelayanan publik yang buruk.

Ironi lain dari dominasi belanja pegawai di APBD/N adalah penerimaan PNS yang sebenarnya merupakan peningkatan beban belanja pegawai tiap tahunnya. Penerimaan PNS di daerah yang sarat dengan muatan politik kepala daerah atau elit-elit politik daerah telah berkontribusi pada rendahnya kualitas pelayanan publik di daerah. Politik transaksional menular tanpa disadari di lingkungan PNS ketika menjadi PNS melalui 'jalur politik' yang sarat dengan KKN. Loyalitas kepada rakyat bergeser ke kesetiaan kepada pihak yang telah menjadikan dirinya sebagai PNS.

Untuk memperbaiki kondisi ini dapat ditempuh langkah ekstrim atau moderat agar beban belanja pegawai tidak menjadi 'bom waktu' pengelolaan keuangan negara. APBD tidak menjadi defisit tetapi ketika belanja pegawai sudah berada di prosentase 80% dari total APBD maka tanda bahaya bagi pembangunan di daerah harus dibunyikan. Langkah ekstrimnya adalah pertama, pensiun dini dan kedua PNS bukan berstatus pegawai negeri melainkan seperti pegawai kontrak di perusahaan. Ketiga, memaksakan moratorium penerimaan PNS secara tegas untuk daerah-daerah yang kelebihan PNS atau belanja pegawainya sudah tidak seimbang dengan belanja lain.

Langkah moderatnya adalah melatih ulang PNS sesuai dengan kebutuhan pelayanan publik yang sesuai dengan kondisi daerah. Melatih ulang dalam ini ada dua hal, pertama, meningkatkan jenjang pendidikan PNS yang masih berpendidikan SMA atau dibawahnya. Kedua, melakukan pendidikan dan pelatihan agar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh daerahnya. Selain itu mendesain pengawasan terhadap kualitas pelayanan publik dengan memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran terhadap persyaratan pelayanan publik. Desain pengawasan tersebut dilakukan dengan meningkatkan peran lembaga Ombudsman untuk memutuskan perselisihan sengketa pelayanan publik yang dilaporkan oleh masyarakat.

PNS telah menjadi beban. Namun sayangnya kualitas pelayanan yang diberikan ke masyarakat masih minimal. Kesadaran bahwa beban belanja pegawai yang mendominasi perlu mendapatkan perhatian agar suatu daerah tidak hanya terbebani dengan belanja pegawai. Termasuk kesadaran bahwa PNS adalah pelayan masyarakat, bukan sebaliknya yaitu menjadi tuan atas rakyat dan melakukan manipulasi atau penyelewenangan dana publik (baca: APBD) yang dipungut dari rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun