Kekuatan moral kerap kali di merujuk kepada mahasiswa sebagai agen perubahan dalam merespon dinamika sosial dan politik suatu negara. Sejarah Indonesia mencatat, kelompok ini hadir dalam momentum krusial, semenjak masa reformasi hingga era digital saat ini, melalui berbagai gerakan advokasi, aktivisme dan solidaritas sosial. Namun dalam realitas kontemporer, peran tersebut tidak jarang menyimpang dari rasionalitas ilmiah dan jatuh kedalam perangkap agitasi ideologis.
Kritik dan narasi terhadap kebijakan pemerintah, seperti isu efisiensi anggaran, revisi RUU TNI, dan stabilitas makroekonomi, kerap disuarakan dan disebarkan tanpa dasar kajian yang memadai. Â Misalnya, dalam penolakan terhadap revisi RUU TNI, Sebagian kelompok mahasiswa menyuarakan kekhawatiran akan kembalinya dwi fungsi ABRI tanpa merujuk langsung pada dokumen pemerintah atau substansi pasal yang telah dibatasi ruang lingkupnya pada keamanan dan stabilitas negara, bukan ranah sipil. Hal yang serupa juga terjadi pada kebijakan lainnya, yang disuarakan atas kekhawatiran emosional daripada hasil kajian akademik.
Dalam kacamata pemikiran ahli, fenomena ini dapat dijelaskan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of The Oppressed (2020) yang menekankan pentingnya kesadaran kritik (conscientizatcao) dan pendidikan yang dialogis. Dalam konteks saat ini, absennya proses refleksi dan dialog ilmiah menjadikan kritik mahasiswa rawan terdorong oleh sentimen kolektif yang reaktif ketimbang didasarkan pada pemahaman struktural. Pola komunikasi massa yang bersifat instan dan emosional cenderung menggantikan proses kajian kritis, sehingga memperlemah substansi kritik itu sendiri.
Pola konsumsi informasi di era information disorder semakin memperburuk situasi. Kini mahasiswa tidak lagi memperoleh informasi semata-mata dari media arus utama yang relatif terverifikasi, melainkan dari media sosial yang bercampur dengan media asing, influencer, dan akun publik yang tidak memilki kapasitas dalam prinsip jurnalistik. Berdasarkan pengamatan penulis, adanya beberapa aksi demonstrasi mahasiswa dalam menyampaikan narasi hanya berdasarkan informasi dari media sosial, tanpa disertai kajian ilmiah yang mendalam. Di titik ini urgensi literasi informasi digital menjadi sangat relevan atas respon mahasiswa. Seperti dijelaskan oleh Cristiane Susan Bruce (2004) dalam Information Literacy as a Catalyst for Educational Change, Faktor penting dalam pendidikan adalah literasi informasi, karena dengan informasi dapat memungkinkan individu mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif di lingkungan yang kompleks dan dinamis. Tanpa kemampuan ini, mahasiswa berisiko terjebak dalam arus yang diciptakan pada era information disorder sehingga rasionalitas mahasiswa terganggu dan menjadikan kualitas kritik menjadi tidak bermutu.
Ironisnya, dahulu media konvensional adalah rujukan utama bagi masyarakat dalam menerima informasi publik secara faktual dan aktual, namun sekarang mengalami pergeseran orientasi. Menurunnya minat masyarakat terhadap tayangan berita konvensional mendesak media nasional untuk beradaptasi dalam perubahan permintaan. Untuk bertahan di era digital, media-media ini beradaptasi dengan mengikuti arus berdasarkan engagement yakni melalui berita viral, kontroversi dan dramatisasi, hal ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan industri mereka yang tidaklah sehat, oleh karena itu media konvensional memilih  jalan tersebut daripada berpegang teguh pada prinsip jurnalistik seperti verifikasi dan keberimbangan.
Fenomena ini sering kali dikaitkan dengan praktik clickbait journalism, yakni strategi penyajian berita yang lebih berorientasi pada perolehan klik dan atensi audiens ketimbang pada akurasi dan kedalaman substansi. David Buckingham (2019), dalam esainya Teaching Media in a 'Post-Truth' Age, menyoroti banyak berita palsu dan menyesatkan dirancang bukan hanya untuk mempengaruhi opini, tetapi juga untuk menghasilkan pendapatan melalui iklan dan mengeksploitasi data pengguna. Dalam logika ini, perhatian publik dijadikan komoditas, sementara kualitas informasi dikorbankan demi engagement dan keuntungan. Model seperti ini tidak hanya merusak kredibelitas media, tetapi juga memperkeruh pemahaman publik terhadap isu-isu kebijakan yang kompleks.
Algoritma media sosial yang secara sistematis menampilkan konten berdasarkan preferensi pengguna semakin memperkuat fenomena tersebut, sehingga membentuk ruang informasi yang sempit dan tertutup dari perespektif berbeda. Beberapa ahli diantaranya adalah Eli Pariser (2012) menyebut kondisi ini sebagai filter bubble yakni fenomena dimana individu terkurung didalam lingkaran informasi yang seragam, sehingga kapasitas intelektual individu tersebut melemah dan mendorong pembentukan narasi opini publik yang dikendalikan oleh algoritma bukan hasil dialektika kritis dalam berpikir dan mengkaji suatu permasalahan.
Menyedihkannya narasi-narasi viral di media sosial tersebut menjadi landasan aksi bagi mahasiswa, sehingga karena hal tersebut membawa diri mereka sendiri ke pengaburan intelektual. Hal ini sangat disayangkan, mengingat mahasiswa kerap kali diberikan nasihat oleh dosen untuk menjadikan data-data kredibel sebagai refrensi atau acuan, data dari informasi yang aktual dan faktual, namun nyatanya sebagian mahasiswa justru tergelincir kedalam opini, asumsi, dan narasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Akibatnya, karena hal tersebut mutu kritik mahasiswa terhadap suatu fenomena semakin menurun, bahkan sampai kehilangan substansinya, dan kehilangan akar pertanggung jawabannya. Persepsi publik ini semakin diperkeruh oleh narasi yang berkembang di media sosial, terkhusus lagi terhadap aparatur negara, stigma negatif tanpa dasar data, sehingga menimbulkan ketegangan antara warga dengan lembaga negara, yang mengakibatkan hilangnya substansi kebijakan karena narasi emosional yang dibangun di media sosial.