"Sebelumnya, kurasa kau bisa melakukan sesuatu untukku."
"Katakan, apapun itu, noona."
"Bisa carikan aku obat untuk demam atau flu?"
Setelah menelan obat, aku merasa pusingku sedikit berkurang. Aku dan Bojin sekarang duduk di sofa, dengan dua cangkir cokelat hangat buatan Bojin menemani kami. Aku menceritakan segala yang terjadi pada Bojin, yang entah mengapa, meski kami baru tak lama saling mengenal, aku merasa tak canggung mengobrol dengannya sampai ke masalah pribadiku sekalipun. Bojin juga merupakan pendengar yang baik (dia hampir sama tenangnya seperti Dongsun) dan dia tidak mendesakku untuk menceritakannya dengan cepat. Dia hanya menatap wajahku dan menganggukkan kepalanya sesekali sebagai tanda dia menyimak perkataanku.
"Sebelum aku mengungkapkan pendapatku... apakah noona merasa lebih baik sekarang?"
"Ya... aku... aku tidak menangis lagi kan."
Aku masih tertawa dengan hambar tapi memang, setidaknya aku bisa menarik nafas yang panjang. Aku sudah tidak menangis lagi.
"Aku tidak tau apakah yang kukatakan ini benar, atau salah. Tapi menurutku mungkin ada kesalahpahaman disini. Bisa jadi Chungdae tidak membawa ponselnya, dilihat dari noona yang meneleponnya tapi dia tidak bereaksi," jelas Bojin perlahan, "namun tentang dia bersama dengan Youngkyong, memang bisa jadi mereka sudah membuat janji sebelumnya, atau, mereka hanya kebetulan bertemu. Dan mungkin... dia memang melupakan janji kalian. Entah apapun alasannya, kurasa menanyakannya langsung akan lebih baik daripada hanya menerka seperti ini."
"Aku tadinya benar-benar ingin menghampiri mereka. Mungkin aku tidak akan begini kalau aku langsung bertanya padanya tadi. Tapi mungkin, siapa tau, keadaanku malahan akan lebih parah."
Bojin menggelengkan kepalanya, "kurasa tidak mungkin. Aku yakin di hati Chungdae hanya ada noona seorang. Aku bisa melihat dari sorot matanya, dia tergila-gila pada noona."
"Apakah dia masih seperti itu?" tanyaku sambil tersenyum getir, "ataukah hanya aku yang tidak merasakannya?"