"Tunggu sebentar."
        Aku membuka peta kota Seoul yang sudah kuambil dari airport tadi. Kucocokkan peta itu dengan GPS di ponselku. Lokasi kami sekarang... lokasi berikutnya... tidak jauh. Baiklah. Yifang rupanya juga ikut meneliti peta dan ponsel itu bersamaku.
        "Tidak perlu, kita jalan saja. Harusnya sih sudah dekat sini," putus Yifang.
        Sekali lagi, kami berjalan pelan karena berat dengan barang bawaan kami. Untungnya pemandangan kota Seoul yang ramai dan indah bisa sedikit mengobati kebosanan dan kelelahan kami. Kami masih mengikuti langkah Yifang, sampai kira-kira setelah 10 menit kami berjalan, dia berhenti tiba-tiba. Aku menoleh ke kanan dan melihat apartemen yang agak gelap, dan sepertinya agak kotor. Tidak mungkin, kan!
        "Ini? Alamatnya tidak meyakinkan."
        "Tapi kan kau yang mencari alamatnya," ujar Xili menuduh.
        "Iya sih."
        "Aku masuk dan Tanya saja deh. Itu di counter depan ada ahjumma yang berjaga," kata Yifang.
        Dia meletakkan kopernya untuk kami jaga, lalu dia berjalan masuk ke apartemen suram itu. Kami dari luar bisa melihatnya mendekati si bibi. Suara Yifang cukup kecil saat bertanya, tapi betapa kagetnya kami ketika si bibi berteriak.
        "KALIAN ANAK MUDA YANG TERLALU BANYAK MENGKHAYAL, TIDAK BELAJAR DAN HANYA MENGIDOLAKAN HAL-HAL YANG TIDAK PENTING! PULANG SANA KE RUMAH KALIAN! DISINI TIDAK ADA KRYSD! JANGAN BERANI-BERANINYA MUNCUL DI HADAPANKU LAGI!" teriaknya membahana.
        Tak sampai 5 detik kemudian, Yifang sudah berlari terbirit-birit ke arah kami, menyambar dua koper sekaligus dan berlari maju. Bingung dan ketakutan, kami mengikuti larinya yang kencang. Entah berapa lama atau berapa jauh kami berlari, rasanya teriakan makian si bibi masih terngiang di telingaku. Akhirnya Yifang berhenti berlari. Kami juga berhenti berlari sambil mengatur nafas kami. Aku capek, mengantuk, lapar, dan sekarang kehabisan nafas.