Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Perihal LGBT dan Bagaimana Kita Menyikapinya

24 Januari 2018   23:17 Diperbarui: 25 Januari 2018   03:53 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini bukanlah sebuah karya yang bermaksud untuk memojokkan kaum tertentu, dan bukan juga dengan maksud menunjukkan upaya mendukung secara gamblang. Tulisan ini hanyalah sebuah upaya untuk membuka mata serta ruang pikiran kita semua secara objektif yang seringkali meresahkan kehidupan sosial masyarakat kita sebagai sebuah bangsayang telah bersatu dalam negara, dan yang kedaulatannya telah diakui dunia selama puluhan tahun.

Sebelum saya mengemukakan pendapat saya, perbolehkan saya bertanya: pada dasarnya, sejauh apa sih pemahaman kita mengenai isu Lesbian, Gay, Bisex & Transgender (LGBT) ini? Apakah selama ini kita sudah terlanjur terbiasa menghakimi mereka hanya karena berbeda, abnormal, atau hanya sekedar gila secara perspektif awam? Secara pribadi, saya bukanlah seorang ahli kejiwaan yang mampu menjabarkan berbagai istilah-istilah kelainan pada sesosok insan manapun, selain tentunya pengetahuan dasar bahwa keberadaan mereka adalah nyata di antara kita semua, dan itu juga terjadi akibat berbagai sebab, hingga mereka memutuskan untuk mengambil pilihan yang menjadi pernyataan akan identitas mereka.

Definisi identitas sendiri tentu sangatlah luas, namun apabila boleh disederhanakan, maka identitas adalah berbagai bentuk serta unsur yang mendeskripsikan siapakah seseorang itu, baik bentuk fisik, paras wajah, nada suara hingga nama, jenis kelamin, termasuk preferensi hidup mereka dalam bentuk ideologi, prinsip hidup, agama, hobi, makanan, sikap dan sifat, dan preferensi seksual adalah salah satunya. Berbagai ahli psikolog atau dokter mungkin mampu menjelaskan bahwa berbagai preferensi yang beragam itu bisa muncul dari 2 sumber, antara bawaan genetika sejak lahir, atau juga pengaruh lingkungan yang disebut sebagai pengaruh eksternal. 

Terlepas dari segala pengaruh itu, faktor terbesar akhirnya adalah kemampuan manusia untuk memilih apa yang menjadi identitas dirinya dalam menjalani hidupnya, dan terkait dengan pemilihan identitas ini, sudah sangat wajar dan sepatutnya untuk diakui sebagai hak asasi manusia. Siapapun yang bermaksud untuk memaksakan prinsipnya atau pilihannya terhadap identitas lain seharusnya sudah bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi tersebut, namun ini hanyalah sebuah pandangan subjektif saya sebagai penulis amatir, dan saya bisa salah. Namun apabila hal ini bisa diterima secara objektif dan universal, maka ijinkan saya untuk melanjutkan tulisan ini.

Salah satu contoh konkrit yang bisa saya berikan sebagai pengalaman pribadi adalah preferensi makanan. Secara pribadi, saya tidak suka keju karena menurut saya, keberadaan keju dalam sebuah makanan yang saya lahap hanya akan merusak cita rasa serta selera saya sendiri untuk memakannya. Untuk mereka yang menyukai jenis produk susu tersebut karena identik dengan menu "luar negeri" yang memberikan kesan "berkelas", tentu preferensi ini akan dianggap aneh. Saya bahkan tidak segan-segan untuk memesan menu "double cheese-burger" di gerai McDonalds dengan permintaan khusus "tolong kejunya jangan dimasukkan ke burgernya", dan permintaan ini tentu akan merusak nama burger itu sendiri, karena saya hanya mau burger dengan lapisan daging lebih banyak tanpa keju tapi tak tersedia dalam menu yang ada. 

Dengan contoh kasus ini, salah kah saya untuk meminta hal itu? Apakah saya melanggar ketentuan penjualan? Atau hanya jadi sekedar "aneh" di mata orang-orang yang mendengar pesanan saya atau bahkan pelayan yang melayani pesanan saya? Apabila ada kebijakan perusahaan tertentu yang ketat dan mengharuskan saya untuk tetap mengambil kejunya, apakah saya telah melakukan tindak kriminal karena melanggar ketentuan itu? (Catatan, tidak ada satupun gerai McDonalds yang saya sebut yang pernah menolak pesanan aneh saya itu, dan mereka selalu melayani tanpa komentar apapun dan memberikan pelayanan terbaik. Dan tulisan ini bukan iklan)

OK, mungkin analogi tersebut agak kurang relevan terkecuali pada bagian preferensi pribadi yang saya miliki, terlepas dari fakta bahwa tidak ada yang bisa menghujat saya hanya karena gak suka makan keju dan menjadi berbeda karenanya. Isu identitas yang terkait LGBT tentu adalah sebuah isu yang jauh lebih luas dan kompleks, terlebih di negara ini yang mulai merangkai KUHP mengenai LGBT, dan bahkan bisa dianggap sebagai tindak kriminal, dimana menurut saya, sangatlah berbahaya karena secara gamblang: berbeda berarti melanggar hukum.

Berbahaya, karena terlepas dari segala kesadaran moral dan etika yang membuat kita semua merasa risih dan terganggu, namun apabila hanya dengan menjadi "berbeda" atau "aneh"dianggap sebagai kriminal, bagaimana dengan hak asasi mereka yang secara mendasar "boleh memilih"? Apabila mengambil pilihan tertentu yang menyangkut identitas mereka sudah bisa dianggap melanggar hukum, bolehkah saya beranggapan bahwa hukum itu sendiri sebenarnya telah melanggar hak asasi tersebut? Mungkin saya salah, namun saya yakin prinsip negara ini masih menghargai hak asasi manusia, walau sudah banyak juga pelanggaran-pelanggaran HAM yang sering mewarnai layar berita atau bahkan menjadi catatan kelam sejarah bangsa.

Apabila saya boleh mengutip, ada sebuah kisah tentang seorang profesor yang homoseksual serta autis namun brilian, yang hidup di masa perang dunia I di Kerajaan Britania Raya. Karya yang dia ciptakan untuk menghentikan perang dan mewujudkan perdamaian adalah sebuah "mesin pintar"pertama dari kumparan kabel tembaga dan berbagai komponen elektronik lain yang kompleks guna memecah sandi inteligen musuh. 

Setelah PD I berakhir, dia pun hidup dalam ketenangan dengan mengajar di sebuah universitas, sampai hukum ke-asusila-an mengganjarnya dengan terapi hormon yang tidak hanya menyiksa jiwanya karena sebuah pemaksaan identitas, namun juga segala kecerdasannya untuk memberikan lebih banyak sumbangsih nyata yang berguna bagi kehidupan manusia. Mesin Pintar yang dia ciptakan menjadi cikal bakal segala perangkat pintar yang terus berkembang, dan di masa kini kita sebut Komputer.

Alan Turing akhirnya bunuh diri di umurnya yang ke-41, karena depresi dengan segala tekanan batin yang dialaminya. Beberapa puluh tahun kemudian namanya pun diberikan "royal-pardon" dari Kerajaan Britania Raya untuk segala jasanya dalam membantu menghentikan perang, dimana para sejarahwan juga mengestimasi bahwa sumbangsihnya telah membantu untuk mengurangi korban jiwa dalam perang dengan angka yang cukup signifikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun