Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Debat Perdana Capres Mereproduksi Tradisi Patriarki Orde Baru

30 Desember 2023   04:56 Diperbarui: 30 Desember 2023   05:58 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat perdana capres yang diadakan pada tanggal 12 Desember 2023 menghasilkan berbagai perspektif. Salah satunya menyenggol perspektif gender. Bagaimana tidak, debat yang berlangsung selama 150 menit tersebut hanya membahas Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik, dan Kerukunan Warga. Isu tentang wanita dan pemberdayaan hak-haknya sama sekali tidak dibicarakan. Seolah isu ini tidaklah menjadi pusat permasalahan politik dan tidak menghambat gerakan Indonesia Emas yang sedang dituju. Partisipasi angka wanita dalam politik tidak pernah mengalami lonjakan drastis. Baik saat masa Orde Baru ataupun masa kini. Dikutip dari laman VOA Indonesia, jumlah pria selalu mendominasi ranah politik. Kondisi tersebut terlihat seperti tradisi yang turun-temurun.

Sumber: https://www.voaindonesia.com
Sumber: https://www.voaindonesia.com

Sumber: https://www.voaindonesia.com
Sumber: https://www.voaindonesia.com

Dari data di atas, bisa dilihat dominasi pria dalam politik lebih merajalela dibanding wanita. Kedudukan wanita hanya menjadi sebagai wujud representasi gender belaka dan tidak diintensikan untuk dapat mengubah suatu sistem politik secara nasional maupun internasional. Bahkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 membuat batasan yang jelas dengan memberi keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai dan partisipasinya hanya sekitar 30% saja. Meskipun kuota tersebut merupakan angka minimal, tetap saja dari data yang saya paparkan di atas, khususnya terhadap wanita, tidak satupun periodesasi sejarah politik Indonesia membiarkan dominasi wanita menyentuh batas angka minimal kuota tersebut disediakan. Pada dasarnya, meskipun keterwakilan wanita secara angka meningkat pesat, nyatanya angka tersebut masih kurang mewakili di negara besar ini (Schwindt-Bayer & Mishler, 2005, p. 3). Angka 18,1% nyatanya menjadi ambang batas paling maksimal yang dapat ditempuh wanita sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia.

Sebelum debat ini dimulai, moderator memperkenalkan para panelis yang berjumlah sebelas orang tersebut kepada penonton. Panelis ini merupakan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan fungsi: perwakilan masyarakat dan pemberi pertanyaan-pertanyaan terhadap anggota debat. Namun, dari sebelas panelis tersebut hanya ada dua wanita sebagai wujud representasi masyarakat. Hal ini cukup mengusik dan menganggu saya. Pasalnya, atas dasar apa yang mendasari KPU menetapkan proporsi penalis tersebut dalam konteks gender. Apakah hal ini mengisyaratkan bahwa kaum pria lebih mengerti politik dan wanita dianggap pasif?

Dengan menilik latar belakang penalis yang hadir, sudah jelas latar pendidikan mereka dapat dikatakan mapan semua. Tetapi, saya tidak yakin bahwa dari dua penalis wanita tersebut dapat mewakilkan suara seluruh wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya. Selebihnya, hal ini justru menegaskan bahwa posisi wanita di negeri ini masih seperti sebuah siluet. Kegelisahan ini dapat dijawab oleh Schwindt-Bayer & Mishler (2005). Dalam jurnal tersebut dinyatakan bahwa secara rata-rata negara dengan sistem demokrasi memiliki proporsi penduduk yang sebagian besar adalah wanita dan kepentingan-kepentingan mereka secara tradisional memang kurang terwakilkan.

Struktural Patriarki Merangkap ke Dunia Politik

Ketimpangan gender dalam politik ini berakar dari dominasi budaya Jawa yang diinternalisasi oleh Soeharto pada masa kejayaannya sebagai Bapak Pembangunan. Pemberian sebutan dengan kata "Bapak" tidak semata-mata hadir begitu saja. Hal ini lagi-lagi karena Soeharto memandang struktur kekuasannya bak hierarki Jawa di mana dalam budaya tersebut sosok Bapak ditakuti dan disegani. Di masa kepemimpinannya semua hal berbau politik pada saat itu dijawanisasi untuk melanggengkan nafas kekuasaannya dan menarik keluarga serta kroni-kroninya ke dalam dunia politik. Apapun dibingkai dan distrukturkan dengan budaya Jawa, termasuk wanita. Dengan cara pandang patriarki ini, Soeharto tidak mewadahi wanita untuk terjun ke ranah politik, tetapi sibuk membangun organisasi wanita anti-pemberontak yang hanya tunduk dan tak banyak bertanya terhadap pria. Seperti yang dikatakan Sullivan (dalam Ida, 1991) "Perempuan diikutsertakan dalam pembangunan nasional, bukan sebagai warga negara yang bertanggung jawab penuh, tetapi sebagai asisten yang bergantung pada laki-laki".

Pemerintah Orde Baru mengonstruksi perempuan menjadi tiga konsep: ibu rumah tangga, ibu negara, dan ibu dengan konsep Islam. Sementara itu, pengertian "ibu" ditekankan menjadi konsep yang didominasi konstruksi budaya Jawa. Negara menggunakan istilah Ibu hanya dalam ranah biologis yang terbatas (Suryakusumah dalam Ida, 1996). Konstruksi pada pekerjaan ibu rumah tangga di Orde Baru hanya dilihat sebagai perempuan yang pasif dan tidak berkontribusi dalam ekonomi rumah tangga. Perempuan dilihat hanya sebatas menggantungkan hidupnya di tangan laki-laki.

Konsep ibu rumah tangga yang pasif ini hanya dialami perempuan-perempuan yang stabilitas ekonominya sudah tercukupi dengan status sosial menengah ke atas. Pasalnya, hiruk-pikuk industrialisasi pada masa ini pun menyeret perempuan untuk tunduk kepada Bapak Pembangunan dan proyek kapitalismenya yang memojokkan hak asasi manusia warga negaranya. Perempuan yang berasal dari kelas bawah tidak bisa mengikuti framing adat Jawa yang hanya dilihat kepasifannya dalam bidang ekonomi. Mereka harus banting tulang sebagai buruh yang dibayar dengan upah minimum. Sayangnya, dari zaman kakek kolonial hingga bapak pascakolonial—Belanda dan Soeharto—tidak ada penerangan atas kesejahteraan perempuan yang harunsya dibenahi (Katjasungkana, N., & Wieringa, S., 2003)

Konteks Negara Demokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun