Mohon tunggu...
Victor Simatupang
Victor Simatupang Mohon Tunggu...

Pemerhati lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Usulan Sistem Pengolahan Sampah Baru di DKI Jakarta oleh : Ir. Victor Simatupang

12 September 2014   16:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:54 2873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. PENDAHULUAN

Pengolahan sampah di DKI Jakarta saat ini masih memakai sistem/pola lama, dimana sampah dari sumber sampah seperti perumahan, pasar, pusat perdagangan, perkantoran, dll masih diangkut ke TPS atau trans depo lalu secara berkala dibuang ke TPA-Bantar Gebang Bekasi. Kenapa disebut sistem lama, karena pola-pola ini adalah pola konvensional, dimana akhir dari semua sampah kota seluruhnya diangkut ke pembuangan akhir untuk di tebar urug (sanitary landfill).

Mengacu pada UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan mengisyaratkan adanya perubahan pola pengelolaan sampah, yang tadinya TPA adalah pusat pengolahan sampah kota dirubah menjadi TPA hanya bagian/ porsi kecil yang untuk pengolahannya. Sementara sumber-sumber sampah diwajibkan meiliki pengolahan secara terintegrasi dengan TPS atau transfer depo; adapun sampah yang tidak dapat di daur ulang sesuai dengan konsep 3R dan memiliki nilai ekonomis yang rendah adalah yang diolah di TPA.

Sebagai perbandingan gambaran perubahan pola pengelolaan sampah dapat dilihat pada gambar piramida berikut ini.

POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN LAMA (PIRAMIDA TEGAK)

POLA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN BARU (PIRAMIDA TERBALIK)

Dari kedua gambar diatas jelas terlihat adanya perubahan secara nyata bahwa yang diharapkan oleh UU No. 18 tahun 2008 adalah lakukan pengelolaan di hulu (sumber sampah, TPS dan Trans Depo).

Selama 3 tahun kebelakang memang ada upaya Dinas KebersihanDKI melakukan terobosan dengan bekerja sama dengan swasta untuk mengolah sampah di 3 wilayah yaitu Cakung, Marunda dan Sunter. Ketiga lahan tersebut adalah ex trans depo DKI, 2 (Marunda dan Cilincing) telah beroperasi dan 1 lagi gagal ditenderkan karena faktor teknis. Diharapkan dengan beroperasinya ketiga ITF ini, timbulan sampah DKI sebesar 6.500 ton/hari akan berkurang menjadi 3.000 ton/hari.

Namun, dibalik pembangunan ketiga ITF (Integrated Treatment Facility) Pemda DKI harus mengeluarkan tipping fee sebesar 3.000 x RP. 400.000/Ton = Rp 1.200.000.000 per hari, dan setara denganRp. 36 Mper bulan dan dalam setahun sebesar432 Mangka yang sangat fantastic.

Dan yang lebih fantastic lagi, bahwa pengelolaan dilakukan oleh investor selama 30 tahun, artinya selama 30 tahun swasta yang akan menikmati uang tipping feenya. Setelah itu fasilitas akan dikembalikan ke PEMDA DKI, dalam kondisi ???

Terlepas dari hal ini semua, sebenarnya bila kembali ke pola yang diminta oleh UU No. 18 di atas, pengelolaan sampah dengan mengikut sertakan masyarakat di garis terdepan akan lebih memberikan banyak manfaat bagi Pemda DKI,juga bagi warga/swasta dan aparat pemda di tingkat RT, RW dan kelurahan. Hal ini akan meningkatkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi problem sampah di lingkungannya masing-masing.

2. PENGELOLAAN SAMPAH DI KECAMATAN /KELURAHAN

Sesuai dengan amanat dari UU no. 18 tahun 2008, pengelolaan sebaiknya dilakukan di sumbernya, yaitu di tingkat RT/RW atau Kelurahan/Kecamatanatau bisa dimulai di sekitar lingkungan pasar atau sentra2 penghasil sampah yang potensil. Pertanyaannya adalah, bagaimana sitem atau teknologi yang diterapkan, butuh luas berapa dan tenaga kerja berapa banyak?

Teknologi yang akan diterapkan sangat simple didasarkan pada alam, yaitu menggunakan bakteri yang ada di alam serta bantuan tenaga mesin mekanis sebagai alat bantunya.Sistem ini dapat dirakit di fabricator local dan mesin-mesin penggerak dapat ditemui di pasaran local. Lahan yang dibutuhkan adalah 150-200 m2 dalam satu bangunan dan tenaga kerja tidak banyak cukup 5-7 orang.

GBR:USULAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH CAMPURAN DI KECAMATAN/KELURAHAN

GBR:PLANT LAY OUT SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH DI KECAMATAN/KELURAHAN/PASAR

Sistem seperti gambar di atas dapat mengolah 40-50 m3 sampah per harinya yang dapat menghasilkan 10 Ton/hari kompos granular. Bila ada 50 kecamatan yang ada di DKI dan setiap kecamatan dipasang 1 unit alat sejenis dan di pasar sebanyak 20 pasar maka jumlah sampah yang dapat diolah adalah :

70 x 50 m3/hari = 3.500 m3/4 = 875 Ton/hari (konversi 1 m3 =1/4 Ton sampah).

Untuk mencapai pengolahan sampai tuntas dibutuhkan rata-rata 4 unit di setiap kecamatan/Kelurahan dan pasar tradisionil, sehingga hasil pengolahannya adalah sebagai berikut:

4 x 70 x 50 m3/hari =14.000 m3/hari/ 4 = 3.500 Ton/hari.

Dengan demikian jumlah yang sampah campuran yang diolah adalah sebagai berikut :

1. ITF 3 unit @ 1250 ton/hari = 3 x 1.250 Ton/hari = 3.750 Ton/hari;

2. Pengolahan di kecamatan/kelurahan/Pasar= 3.500 Ton/hari

TOTAL PENGOLAHAN= 7.250 Ton/hari.

3. PERBANDINGAN SISTEM BARU VERSUS LAMA DAN BIAYA PENGELUARAN

Untuk mengetahui perbandingan sistem yang ada saat ini dan pengelolaan sampah di hulu dapat digambarkan pada tabel berikut ini.

NO

ITEM PEMBANDING

SISTEM SAAT INI

SISTEM BARU

1

Pengolahan di Sumber

Relatif hanya pengumpulan

Pengolahan di sumber 75-80%

2

Alat transportasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun