Mohon tunggu...
Erri Subakti
Erri Subakti Mohon Tunggu... Penulis - Analis Sosial Budaya

Socio Culture Analyst

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sastra Indonesia 'di Tempat Tidur,' Dihargai di Thailand

25 Februari 2012   11:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:32 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.indonesianfilmcenter.com/pages/profile/profile.php?pid=9b09c9e64e64

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="http://www.indonesianfilmcenter.com/pages/profile/profile.php?pid=9b09c9e64e64"][/caption] S.E.A Award (South East Asia Write Award 2011) adalah penghargaan yang diberikan oleh keluarga Kerajaan Thailand untuk para penulis-penulis besar (sastrawan) di kawasan ASEAN. Penghargaan ini telah dimulai sejak tahun 1979. Meskipun tidak semua negara-negara ASEAN terwakili setiap tahun, penghargaan ini juga diberikan untuk karya tulisan tertentu, atau bisa juga diberikan untuk “lifetime achievement.” Jenis-jenis karyanya bisa bervariasi, seperti puisi, cerita pendek, novel, drama, cerita rakyat dan karya-karya ilmiah dan religius. Thailand Pun Sangat Menghargai Sastrawan Indonesia Para penulis dari Indonesia yang telah mendapatkan penghargaan ini pada dekade awal (1979-1989) adalah: Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Marianne Katoppo, Y. B. Mangunwijaya, Budi Darma, Abdul Hadi Wiji Muthari, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Danarto, dan Gerson Poyk. Untuk paruh dekade kedua (1990-1999) : Arifin C. Noer, Subagio Sastrowardoyo, Ali Akbar Navis, Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, W.S. Rendra, Seno Gumira Ajidarma, N. Riantiarno, dan Kuntowijoyo MA. Sedangkan untuk dekade 2000-2009: Wisran Hadi, Saini K.M. (Saini Kosim), Darmanto Jatman, Nh. Dini, Gus tf Sakai, Acep Zamzam Noor, Sitor Situmorang, Suparto Brata, Hamsad Rangkuti, dan Floribertus Rahardi.

Sementara tahun 2010 dan 2011 lalu, penghargaan untuk sastrawan Indonesia yang diberikan adalah kepada: Afrizal Malna, dan D Zawawi Imron.

Namun D. Zawawi Imron baru menerima Hadiah Sastra Asia Tenggara ini pada tanggal 16 Februari 2012 lalu, di Mandarin Oriental, Bangkok. Hal ini dikarenakan banjir yang sempat melanda Thailand tahun lalu, memaksa diundurkannya upacara penganugerahan yang sedianya digelar pada bulan November 2011.

Penghargaan sastra kepada D. Zawawi Imron, yang menulis buku kumpulan puisi "Kelenjar Laut" (The Glands of the Sea)-2007, diberikan oleh Putri Sirivannari Nariratana, mewakili Putra Mahkota Kerajaan Thailand, Pangeran Maha Vajiralongkorn.

Mencengangkan melihat sastrawan berusia 69 tahun kelahiran Sumenep, Madura ini, yang selepas dari Sekolah Rakyat melanjutkan ke Pesantren Lambicabbi (Gapura, Sumenep) kini menjadi salah satu sastrawan besar Indonesia yang juga sangat dihargai di manca negara. Salah satu karyanya yang sempat diangkat ke layar lebar oleh sutradara Garin Nugroho adalah "Bulan Tertusuk Ilalang."

Sungguh sebuah apresiasi yang tinggi dari Kerajaan Thailand bagi mereka yang mendedikasikan dirinya dan berkontibusi dalam dunia tulis-menulis/sastra di kawasan Asia Tenggara ini. Kepedulian terhadap buah karya hasil "kecerdasan linguistik" bangsa-bangsa di Asia Tenggara ini, menunjukkan tingginya kebudayaan sastrawi di kawasan ASEAN yang tidak kalah dengan karya-karya sastra bangsa besar lainnya di belahan bumi ini. Sastra 'Di Tempat Tidur' Dunia tulis-menulis dan sastra di Indonesia masih belum jauh beranjak dari 'tempat tidur.' Serasa enggan untuk bangkit berdiri menjadi budaya yang bisa mengangkat harkat martabat di hadapan bangsa-bangsa lain. Kita masih menomorsatukan bidang-bidang lainnya, yang kadang malah memperpuruk kondisi bangsa ini sendiri. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bahasanya. "Bahasa Menunjukkan Bangsa," begitu kata Remy Silado. Tak ada yang salah jika seseorang bergelut di bidang tulis menulis, dan serius berkontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan dan budaya. Bahkan dorongan untuk hal ini seharusnya bisa dimulai dari semenjak masa anak usia dini. Tak perlu sungkan untuk mulai membiasakan membacakan puisi untuk anak-anak saat "me-nina-bobo-kan" mereka. Itu merupakan stimulasi atas kinerja otak anak dalam meningkatkan kecerdasan linguistiknya. Bukan tak mungkin sebuah peradaban justru ber-tansformasi ke arah yang lebih baik justru dimulai dari berbagai gagasan dan karya-karya sastranya. Karena setiap gagasan itu 'hidup', ia mampu berkembang biak dan menggedor nurani banyak orang. (Erri Subakti) *Penulis kerap membacakan puisi dari kompasiana kepada anak-anak menjelang mereka tidur. **Foto-foto penganugerahan SEA Write Award, oleh kompasianer Arif Khunaifi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun