Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Lecturer I Researcher

Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion I FISIP Universitas Setia Budhi Rangkasbitung I Menulis untuk ridho Allah, menjaga kewarasan, menebar kemanfaatan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Gurauan Nir-Empati seorang Wakil Menteri (Blunder Komunikasi Pembantu Presiden - Kasus 3)

22 Juli 2025   17:07 Diperbarui: 22 Juli 2025   17:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Dalam pemerintahan definitif yang belum lagi seumur jagung usianya, komunikasi elite terutama pejabat publik seharusnya menjadi jembatan interaksi yang sehat, produktif dan berdampak positif, sekaligus berlangsung dalam suasana penuh empatik dan saling hormat antara negara dan rakyat. Namun di awal perjalanan pemerintahan Presiden Prabowo, blunder demi blunder dari para pembantunya justru memperlihatkan corak yang sebaliknya. Untuk tujuan refleksi dan pembelajaran bersama, saya mencatat sejumlah blunder komunikasi politik mereka, dan mencoba menuliskan ulang dengan beberapa sentuhan perspektif akademik secara serial dalam beberapa esai ini.

                                          

Tagar Kekecewaan vs Respon Ejekan

Tagar #KaburAjaDulu sempat menggebrak media sosial pada awal 2025. Di balik humor yang menggoda, tersembunyi keresahan generasi muda terhadap arah demokrasi dan ketidakpastian masa depan. Namun, yang mengejutkan bukan hanya munculnya tagar, melainkan respons pejabat publik terhadapnya---terutama Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer, yang berkata: "Mau kabur, kabur saja. Kalau perlu jangan balik lagi." (Kompas.com, 18 Februari 2025).

Di tengah keresahan anak muda, candaan tersebut dibaca sebagai ejekan, bahkan pengusiran simbolik dari ruang kepedulian negara. Esai ini akan membedah bagaimana empati bisa hilang dari komunikasi negara, dan bagaimana retorika publik berubah dari responsif menjadi pasif-agresif.

Dalam studi oleh Ahmed & Tan (2023), "empathy deficit in elite communication is one of the early indicators of democratic disconnection." Ketika pejabat gagal memahami emosi kolektif rakyat, maka komunikasi tidak lagi berfungsi sebagai jembatan, melainkan sebagai pemisah.

Pernyataan Immanuel yang membalas kritik publik dengan candaan sinis menunjukkan kegagalan memahami bahwa humor dalam demokrasi bukan alat pelarian, melainkan bentuk ekspresi kecewa dan seruan agar didengar.

Guyonan di ruang privat bisa jadi wajar. Tapi ketika guyonan dilempar dari podium negara, di hadapan publik yang sedang terluka, maka ia menjadi symbolic violence. Candaan Immanuel memperlihatkan retorika pejabat yang kehilangan refleksi: bukannya mendengar dan merespons, negara justru mengolok keputusasaan warganya.

Aspirasi dan Kegagalan Membaca Zaman

Tagar #KaburAjaDulu bukan hanya viral di media sosial, tapi juga hadir di forum-forum aktivis kampus, diskusi sipil, dan ruang-ruang alternatif. Menurut Lim (2023), "networked dissent is often articulated through irony and memes, as forms of emotional solidarity." Saat negara gagal membaca bentuk komunikasi ini sebagai ekspresi politik, maka respons pejabat berisiko memperlemah legitimasi retoris negara. Immanuel tidak hanya gagal berkomunikasi. Ia gagal membaca zaman.

Dalam kerangka Critical Discourse Analysis, kata-kata Immanuel bisa dibaca sebagai bentuk peneguhan power through irony. Negara yang seharusnya mengayomi, justru mengusir secara retoris warganya yang kecewa. Guyonan "nggak usah balik lagi" adalah pemutusan simbolik terhadap ikatan antara rakyat dan negara. Menurut Chouliaraki & Fairclough (2023), "Irony from above, when used to suppress dissent, functions as a shield rather than reflection."

Reaksi Publik dan Kecaman Etik

Usai pernyataan Immanuel viral, publik bereaksi keras. Forum mahasiswa menyerukan mosi etik, menyebut tanggapan tersebut "merendahkan aspirasi politik anak muda." Dewan Pemuda Nasional meminta Istana mengklarifikasi sikap Immanuel yang dinilai tidak representatif. Bahkan beberapa tokoh publik meminta pejabat seperti Immanuel "belajar berkomunikasi di era kesadaran digital." (Kompas.com, 19 Februari 2025)

Kita hidup di era di mana ekspektasi publik terhadap empati pejabat semakin tinggi. Anak muda bukan sekadar objek kebijakan, tapi subjek wacana. Ketika mereka menyuarakan kekecewaan, maka komunikasi pejabat seharusnya hadir sebagai ruang dengar, bukan ruang tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun