Menurut Chouliaraki & Fairclough (2023), "Power speaks not only through policies but also through language. The way a critique is dismissed reveals the deep grammar of domination." Dalam hal ini, stigma bukan sekadar gaya bahasa, tetapi sistem berpikir.
Setelah pernyataan Maruli viral, aktivis dan akademisi bereaksi. Direktur Imparsial menyebut komentar itu sebagai "bentuk pembungkaman intelektual yang berbahaya." Sementara Direktur Setara Institute menulis, "Jika pemikiran kritis dianggap kampungan, maka militer gagal memahami demokrasi."
Tagar #KritikItuKonstitusional sempat naik di media sosial. Publik menyadari bahwa retorika seperti ini bukan soal gaya personal, tapi soal pengabaian terhadap hak rakyat untuk bicara.
Harus Berani Berubah
Retorika stigmatik berdampak luas terhadap citra militer. Studi oleh Lee & Park (2023) menunjukkan bahwa komunikasi represif dari militer dapat "accelerate public mistrust and alienation." Jika dibiarkan, militer bukan hanya kehilangan dukungan sipil, tetapi juga kehilangan legitimasi sebagai institusi negara.
Pernyataan Jenderal Maruli telah memperlihatkan bahwa militer belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang otoritarian. Seragam harusnya melindungi rakyat, bukan melabeli pikirannya.
Sikap seorang pejabat negara terhadap kritik mencerminkan kualitas demokrasi yang dijalankan. Ketika kritik disebut "kampungan," maka negara sedang mempertanyakan hak rakyat untuk berpikir. Padahal dalam demokrasi, kritik bukan gangguan. Â Ia adalah fondasi perbaikan.
Retorika pejabat militer harus berani berubah. Dari hierarki ke empati, dari stigma ke dialog. Sebab bila seragam dijadikan alat ejekan, maka demokrasi akan kehilangan warna sipilnya.Â
Blunder bukan sekadar kelalaian. Ia adalah cerminan relasi kuasa yang timpang. Ketika seragam bicara dengan stigma, maka rakyat perlu bicara dengan keberanian. Di seri berikutnya, saya akan mengulas blunder lainnya: candaan pejabat yang kehilangan empati terhadap aspirasi kaum muda.
Serial ini belum selesai. Pada artikel berikutnya, saya akan menyusuri dan membaca blunder-blunder retoris lain yang tak kalah kontroversial, untuk menunjukkan bahwa luka komunikasi bukan kejadian tunggal, melainkan pola yang berulang. Dan retorika yang sakit, tentu harus disembuhkan. Jika sepakat, pantau terus serialnya kedepan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI