Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

S17, Fosil Tengkorak "Masterpiece"-nya Sangiran yang Hebohkan Dunia

23 Maret 2018   06:22 Diperbarui: 24 Maret 2018   06:46 3026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

S17, merujuk pada kata Sangiran dan 17. Artinya, penemuan fosil tengkorak di Sangiran urutan  ke-17. Ini bukan sembarang fosil. Jika fosil lainnya kebanyakan berupa tempurung kepala, fosil S17 memberi lebih. Wujud fosil S17  relatif lengkap. Tempurung kepala relatif utuh. Bentuk dahi lebih terlihat. Cekungan mata dan hidung juga masih tersisa. Lebih istimewa, ada tinggalan gigi yang masih menempel di tempatnya. Sungguh, inilah penemuan spektakuler tiada duanya di dunia!

Tiba di Sangiran

Sesaat setelah peluit melengking, tepat pukul 20.15, kereta eksekutif Argo Lawu  mulai melaju dari Stasiun Gambir.  Rencananya 8 jam, 30 menit akan sampai di Stasiun Solobalapan, kota Solo. Saya duduk di kursi nomor 12A,  gerbong 5.  Sengaja saya pilih karena deretan kursinya tidak terisi penuh seperti yang saya lihat di denah penumpang pada saat saya pesan tiket via online.

Kalau pilih gerbong 1 sampai 4 biasanya berjubel. Seperti saat saya berangkat ke Jakarta naik Kereta Argo Anggrek di gerbong 2, kursi 12A. Dari Pasar Turi Surabaya sampai Gambir gerbong penuh. Akibatnya, kaki hanya bisa selonjor ke bawah. Tidak bisa santai karena kursi sebelah ada yang punya. 

Nah, kali ini, kaki bisa methingkrang dan bergerak bebas kemana-mana karena kursi sebelah kosong melompong. Bantal pun dapat dobel. Tinggal selangkah ke belakang menuju toilet.  Kata orang sih, naik kereta paling nyaman itu di tengah (maka harga sub class tengah ini paling tinggi), karena jauh dari sambungan gerbong sehingga tidak berisik. Tapi bagi saya, nyaman itu jika  dekat  restoran dan toilet. Kalau ngantuk, akan membawa lelap. Sejenak  suara gemuruh kereta pun ikut luruh.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Singkat cerita, begitu urusan di Solo dan Klaten tuntas, sekitar pukul 11 siang saya estafet menuju Sangiran. Lokasinya sudah saya petakan tadi malam saat saya di duduk santai kereta api, sambil menikmati Nasi Goreng Parahyangan dan teh panas yang saya pesan dari crew Argo Lawu yang good looking.  Nggak bikin ngantuk.

Sebenarnya ada 4 titik lokasi klaster museum. Saya putuskan menuju yang paling terkenal yaitu, Museum Sangiran, Klaster Krikilan. Lainnya kapan-kapan saja, karena aksesnya lumayan susah karena jaraknya yang terpisah lebih dari 10 kilometeran..

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Sangiran

Sangiran sebenarnya nama dukuh kembar di kaki Gunung Lawu. Terletak di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kedua dukuh Sangiran dibelah oleh Kali Cemoro yang mengalir menuju  ke Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa. Dukuh Sangiran  bagian utara masuk Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Sedang saudara kembarnya di selatan masuk Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar .

Di Museum Krikilan inilah saya mendapati fragmen-fragmen pra sejarah yang disusun secara lengkap, dengan replika-replika, banner-banner informasi colourfull, diorama-diorama dengan tata cahaya menarik serta sentuhan multimedia yang mampu memberi gambaran jelas bagi saya (dan pengunjung) tentang kehidupan manusia Jawa di masa lalu.

Informasi dan sajian di Museum ini begitu komplit. Tentunya tidak cukup hanya satu jam dua jam untuk menuntaskannya.  Karena waktu yang demikian terbatas, secara sporadis dan cepat saya memotret dan mencatat poin penting (menurut saya)  yang akan jadi bahan artikel di Kompasiana.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
S17

Nah, di Sangiran inilah ditemukan fosil tengkorak S17 di sebuah tebing di tahun 1969 oleh Tukimin, warga dusun Pucung.  Penemuan ini merupakan rentetan penemuan-penemuan sebelumnya  yang diawali oleh  Schemulling di tahun 1864 yang hanya menemukan fosil vertebrata.  Baru ketika Ralph von Koenigswald mulai penelitian dan penggalian secara intensif di tahun 1934, maka mulai pula ditemukan serpihan-serpihan fosil manusia purba.

Makin lama penemuan Koenigswald makin banyak sehingga akhirnya dia memberanikan diri mengajukan fosil temuannya sebagai Homo Erectus yang artinya manusia setengah kera. Secara ilmiah dia menyebut Homo Erectus itu sebagai Phitecantropus Erectus, artinya manusia yang berdiri tegak. Ini dipercaya sebagai fosil penting dari  tahapan evolusi manusia sebelum menjadi Homo Sapiens (manusia modern).

Lebih menghebohkan lagi, secara keseluruhan di Sangiran ini telah ditemukan lebih dari  50 fosil individu manusia yang mewakili 65%  fosil Homo Erectus di Indonesia. Bahkan jika perbandingan dengan temuan di  berbagai belahan bumi,  Sangiran  telah menyumbang 50%  temuan fosil Homo Erectus di dunia! Artinya, sumbangsih Sangiran  pada dunia palaeontologi demikian luar biasa. Tak heran, UNESCO di tahun 1996 memasukkan Sangiran dalam Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) nomor 593. Sebutannya: The Sangiran Early Man Site.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Elisabeth Daynes

Cukup sulit bagi seorang ilmuwan untuk merekonstruksi fosil tengkorak menjadi figur wajah utuh. Tapi adanya S17, proses itu makin dipermudah. Maka, dengan bekal keilmuan dan pengalaman dalam bidang seni patung, anatomi komparatif, akhirnya membawa Elisabeth Daynes terlibat pula dalam proses rekonstruksi S17 menjadi figur manusia.

Temuan fosil S17 yang relatif utuh , ternyata  sangat membantunya merekonstruksi  bentuk wajah manusia Jawa purba. Tidak sekedar rekontruksi wajah. Termasuk juga keberadaan tubuh manusia-nya. Sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa S17  adalah Homo Erectus laki-laki berusia 700.000 tahun .  

Semakin lengkapnya temuan-temuan di Sangiran pada akhirnya makin mengerucutkan hipotesis bahwa Home Erectus adalah penyambung dari terputusnya proses evolusi manusia.  Singkatnya, Homo erectus adalah Missing Link! Benarkah demikian, entahlah.

Pastinya, dengan keberadaan S17  yang spesial ini, tak heran banyak museum dunia yang mengoleksi replikanya, karena ini adalah temuan fosil penting dalam dunia palaeontologi. Tak berlebihan kiranya jika disebut,S17 adalah masterpiece-nya Sangiran!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun