Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ingin‬ Mendapat Lailatul Qadar Tidak Harus I’tikaf

2 Juli 2016   09:50 Diperbarui: 2 Juli 2016   10:03 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dalam kitab fikih selalu ditemukan “Bab Al-I’tikaf”, ini menandakan bahwa I’tikaf itu penting dan pasti besar pahalanya. Apalagi didukung dengan hadis-hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim seputar pahalanya I’tikaf. Di dalam kitab “Al-Muhaddab” Imam Al-Syairazi secara khusus menerangkan “Kitabul I’tikaf” dan keutamaannya yang bersumber pada hadis Rosullah SAW secara gamblang.

Jika melihat beberapa masjid, khususnya Masjidilharam dan Masjid Nabawi. Usai menunaikan sholat subuh berjamaah, sebagian besar jamaah tidur terlelap, karena semalam begadang menanti kedatangan Malam Lailatul Qodar. Pemandangan ini terlihat sejak malam 21 Ramadhan hingga malam ke 29 Ramadhan. Sebagian besar berkeyakinan bahwa Lailatul Qodar itu runtuh pada malam-malam ganjil.

Karena keyakinan itulah, maka semua orang berlomba-lomba menghidupkan malamnya dengan membaca Al-Quran, dzikir, dan kadang ada yang umrah secara khusus malam-malam ganjil. Pokoknya, malam sepuluh terahir itu benar-benar malam istimewa bagi umat Rosulullah SAW, dimanapun berada, tak terkecuali mereka yang tinggal Amerika, China, India, dan Indonesia.

Ada juga yang menyibukkan diri dengan qiyam Ramadhan, dengan alasan bahwa amalan yang masru’ itu adalah qiyamul lail, sebagaimana hadis Rosulullah SAW “barang siapa yang melaksanakan qiyam pada malam lailatul qodar atas dasar iman dan semata-mata mengharap rahmat-Nya, maka dia akan mendapatkan ampunan dosa-dosa yang pernah dilakukan” (HR.Bukhori).

Rupanya, ada juga orang yang jarang qiyam ramadhan, bahkan kadang tidak sama sekali. Apalagi I’tikaf. Bukannya orang ini tidak mengerti agama, justru orang ini sangat mengerti agama, bahkan juga sangat mengerti kandungan ayat suci Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW seputar Lailatul Qodar. Hanya saja, orang ini lebih sibuk bekerja dan urusan duniawi, sehingga malam-malam sepuluh terahir bulan Ramadhan dipergunakan banyak istirahat karena esok paginya harus bekerja.

Orang ini juga aras-arasen (malas) ikut serta I’tikaf dengan alasan sunnah, sementara bekerja itu hukumnya wajib. Tetapi dia memiliki keyakinan, bahwa berbagi kepada orang-orang yang sedang puasa dan I’tikaf di Masjid berarti mendukung sunnah Rosulullah SAW, pahalanya juga setara dengan yang sedang puasa dan I’tikaf di Masjid.

Memang orang yang seperti ini tidak banyak. Biasanya orang yang berfikir seperti ini yaitu orang-orang yang kerjanya keras, seperti pedagang pasar, pengusaha, kemudian sebagian penghasilanya kadang dibagikan kepada orang-orang yang berbuka puasa di Masjid. Orang seperti ini lebih tertarik pada jenis ibadah “mutaddiyah”.

Setiap hari, orang ini selalu berfikir bagaimana bisa memberikan takjil dan berbuka puasa kepada orang-orang yang sedang beri’tikaf di Masjid. Mereka memberikan yang terbaik, sebagaimana apa yang dilakukan oleh sahabat Rosulullah SAW yang bernama Abu Thalhah kepada Rosulullah SAW. Kalau memang benar demikian, maka orang yang dermawan seperti ini, suka berbagi kepada mu’takifin (orang yang i'tikaf) di Masjid maka pahalanya sama dengan sejumlah orang-orang yang sedang beri’tikaf. Ini baru keren habis.
.
Jika orang yang sedang I’tikaf itu setiap hari membaca Al-Quran, ikut sholat tarawih dan witir, kemudian menjaga sholat berjamaah lima waktu. Maka, orang-orang yang dermawan itu juga memperoleh pahala yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan catatan ihlas karena Allah SWT.

Sementara, orang-orang yang sedang I’tikaf, tetapi tidak mempersiapkan niatnya dengan baik, dan juga tidak memiliki bekal yang cukup selama sepuluh terahir bulan suci Ramadhan, bisa jadi I’tikafnya hanya menyusahkan dirinya, juga keluarga dan anak-anaknya yang ditinggalkan selama beberapa hari. Menunggui istri dan anak-anaknya adalah wajib, sementara I’tikaf semua ulama sepakat hukumnya sunnah.

Rosulullah SAW selalu beri’tikaf di Masjid hingga wafat, sebagaimana yang dijelaskan Aisyah ra. Sebelum menjadi utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW paling demen tahannust (menyendiri) mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika di Makkah, Nabi SAW paling menghabiskan waktunya berdiam dan bermunajat kepada Allah SWT di Goa Hira’. Ketika itu Nabi SAW memutus interaksi sementara waktu dengan manusia, dan membangun interaksi secara khusus dengan Allah SWT.

Dan yang paling menakjubkan ialah, motifasi Khodijah ra. Sebagai seorang istri yang setia memberikan bekal kepada suaminya tercinta setiap kali suaminya pergi ke Goa Hira’. Bukan sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali. Khodijah ra, bukan saja memberikan bekal makanan, tetapi dengan ihlas tidak ditunggui suaminya setiap malam. Tidak ada pengorbanan yang lebih hebat melebih pengorbanan Khodijah ra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun