Â
Secanggih-canggih teknologi, lebih canggih otak manusia. Saking canggihnya, banyak ide yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah. Salah satu siasat klasik manusia untuk menyelamatkan diri adalah dengan berbohong.
Sebagaimana teknologi yang kian mutakhir, ternyata kebohongan pun kian canggih berevolusi, sehingga ilmu pengetahuan harus mengejar agar tak tertinggal. Ibarat polisi dan koruptor. Semakin hebat polisinya, semakin hebat lagi koruptor berinovasi.
Orang yang sering berbohong dibagi dua golongan, pembohong kompulsif dan pembohong patologis. Berikut ulasannya!
Baca juga:Â Ciri Psikopat yang Tidak Kita Sadari
Pembohong Kompulsif
Mereka adalah orang yang menikmati kebohongannya. Membuat sugesti untuk dirinya sendiri, agar memercayai kebohongan yang ia buat. Istilah sederhananya, membohongi diri sendiri.
Orang dengan kebiasaan ini senantiasa menampilkan kehidupan yang baik dan ideal di luar. Banyak orang yang percaya, sampai melihat sendiri kenyataan yang sering kali berbeda jauh dengan pencitraan yang ia buat.
Pembohong kompulsif yang tidak segera disadarkan dapat mengalami mythomania, yakni pembual ulung, yang bahayanya justru lebih besar bagi dirinya sendiri. Sebaik apa pun akting pembohong kompulsif, orang-orang yang mengenalnya lambat laun akan mengetahui kebenaran di balik kebohongan yang ia buat.
Akibatnya sudah bisa ditebak, ia akan dijauhkan dari pergaulan sosial. Tidak ada satu makhluk pun yang suka dibohongi.
Pembohong kompulsif sebenarnya tidak berniat melakukan kebohongan. Awalnya ia melakukan karena terdesak, tapi setelah satu keberhasilan, ia menjadi candu dan melakukannya terus-menerus.
Baca juga:Â Gugat Cerai Karena Suami Jelek? Boleh!
Pembohong Patologis
Pembohong patologis beda lagi, ia telah merencanakan dengan baik kebohongan yang akan dilakukan. Dari segi bahaya, efek bual dari pembohong patologis lebih membahayakan orang lain daripada dirinya sendiri.
Sebab pembohong patologis punya target yang terencana, itu membuatnya melakukan kebohongan dengan cara yang lebih rapi sehingga tidak terdeteksi.
Baik pembohong kompulsif maupun pembohong patologis, sama-sama berbahaya. Tapi ada yang paling berbahaya lagi, yaitu pembohong patologis yang kompulsif.
Selain terencana dan punya target besar. Pada fase ini, pembohong berani mengeluarkan modal berupa alat kebohongan dan orang-orang yang mau dibayar untuk mendukung kebohongannya.
Ia tidak hanya memperhitungkan hasil yang besar, tapi juga menikmati proses bohong itu dengan pencitraan yang mengagumkan. Bisa dibilang, inilah kebohongan ekstrem, sebab yang dirugikan bukan lagi orang per orang, bisa jadi satu negara.
Dikatakan ekstrem, juga karena ia tak peduli kalaupun orang tau bahwa ia berbohong. Sekalipun telah terbukti dan ia pernah merasakan akibatnya. Seolah ada candu di otak sekaligus mati rasa di hati pelakunya.
Para ahli belum bisa memastikan penyebab seseorang melakukan kebohongan ekstrem. Hasil penelitian baru mengabarkan sebatas pemicu kebohongan, seperti kebiasaan dan tuntutan untuk diperhatikan. Yang menjadi perdebatan, apakah berbohong ekstrem termasuk gejala penyakit, atau penyakit itu sendiri.
Tapi para ahli sepakat, pembohong patologis maupun kompulsif, atau pelaku keduanya, dapat diobati dengan konseling atau psikoterapi. Selama terapi, yang bersangkutan harus dijauhkan dari hal-hal yang dapat memicu kebohongan.
Selain itu, pada penyakit yang berhubungan dengan kejiwaan, spiritual adalah faktor penting dalam pengobatan. Jika melihat dari sisi ini, kita akan kembali ke pepatah lama yang "abadi", mencegah lebih baik daripada mengobati.
Lebih baik mendekatkan diri dan keluarga, terutama anak-anak, ke nilai-nilai spiritual. Sebab di masa mendatang, dunia tak hanya butuh orang pintar, tapi juga orang-orang yang jujur. Jangan sampai keluarga kita mencetak para pembohong, atau anak-anak tumbuh dewasa dengan hobi berdusta.