Waktu masih sekolah, aku tau mencontek buku saat ulangan/ujian adalah dosa. Tapi memberi contekan pada teman, kukira adalah bentuk persahabatan. Seorang teman bernama R suka sekali duduk di sampingku saat masa-masa ulangan.
Dari hari pertama sampai entah hari ke berapa, R "setia" bersamaku. Menyalin jawaban dari kertasku bulat-bulat ke kertas miliknya. Pada hari kesekian, dibagikanlah soal Bahasa Arab, yang aku sebagai siswa baru tak mendapatkan mata pelajaran ini di sekolah lama.
Aku memang ikut belajar sebelumnya, tapi tak menyangka jika pada saat ujian, seluruh informasi menggunakan bahasa Arab. Dari angka, soal, sampai tanda baca, semuanya Arab!
Kupandangi kertas itu dari atas ke bawah, kembali ke atas. Lalu membalik kertas. Tak ada petunjuk sama sekali. Harapanku hanya satu, mencontek pada R!
"Sst!" panggilku.
R diam saja. Mungkin tidak dengar. Kupanggil lagi, tetap tak menjawab. Bahkan sampai panggilan dan kode kesekian, sampai aku sadar. R bukan tidak mendengar, tapi ia tak mau membantu. Air susu dibalas air got!
Untung pekan ujian masih berlangsung. Setelah hari itu, tak ada ampun. Haram bagiku memberi R contekan lagi. Syukurlah aku bisa mengaji, jadi setelah menebak-nebak makna di lembar pertanyaan itu, aku bahkan mendapat nilai 10. Sempurna. Jujur, tanpa mencontek dan memberi contekan.
Setidaknya dari pengalaman masa SMP itu aku belajar, tak semua orang yang suka menerima bantuan kita, akan membantu kita suatu hari. Jadi jangan berharap. Soal memberi contekan itu tidak benar, aku masih menganggap salah jika ketahuan saja. Jika guru tidak tau, tidak apa-apa.
Syukurnya makin dewasa, aku makin memahami arti kejujuran. Bukan sekadar perkara nilai sekolah, tapi nilai diri kita.
Baca juga: 7 Meme Utang yang Nampol Abis
Menjelang usia 20, aku sudah paham betul bahwa mencontek dan memberi contekan itu menyalahi aturan. Tapi aku tidak tau kalau memberi pinjaman duit ke teman bisa bikin makan hati.