Kalaupun rasa maluku hilang, kakakku juga muak barangkali. Kecil dicebokin, besar masih minta-minta. Tapi A tak segalak kakakku. Ah, artikel ini baiknya dibagi di Twitter saja. Kakakku tak punya Twitter.
Saking enaknya terus dibantu, adik-adik A untuk selanjutnya seolah kecanduan. Mungkin yang mereka dapat hanya receh, tapi pendapatan A juga receh.
Di warung kecilnya yang hanya menjual kebutuhan rumah tangga skala terkecil, keponakan-keponakan A saban datang menguras mi instan. Butuh duit tinggal curhat, kalau yang ini aku tak begitu tahu detailnya. Tapi yang jelas, belakangan A terlilit utang yang tidak sedikit. Â
Di masa pandemi, yang semua orang merasa susah, tak ada tempat mengadu. Adik-adik kadung terbiasa minta, alih-alih ikut membantu. Ojek sepi, warung kehabisan modal, bahkan A sendiri terancam di-PHK.
Baca juga:Â Ini Loh Bahaya Sering Bohong pada Anak!
Ada lagi X, pedagang pempek keliling yang dulu ramah sekali padaku. Sekarang aku tak pernah lagi berjumpa dengannya, tapi cerita yang ia bagikan masih terkenang hingga sekarang.
Saat X datang ke kampung kami, usiaku masih SD. Ia berkeliling dengan menjinjing pempek di pundak, mengenakan caping untuk melindungi wajah dari panas matahari.
Jika lewat depan rumahku, ia memanggil sambil tersenyum, "Tari!"
Ya supaya dibelilah, apa lagi?
Makin aku remaja, ia sungkan menyebut nama. X ganti bersepeda, dan menyapaku dengan "mbak". Barangkali waktu itu aku SMA, ketika HP hanya dimiliki orang-orang tertentu.
Aku bahkan tak terpikir punya HP, karena bukan barang penting. Di rumah, hanya abang dan kakak yang karena pekerjaan, menggunakan HP. Toh, telepon rumah masih umum dipakai.