Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari

30 Mei 2020   16:47 Diperbarui: 30 Mei 2020   16:40 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sekolah (kompas.com)

Saking berkesan kejadian ini, sudah berlalu puluhan tahun kenangannya masih lekat di kepalaku.

Sebagai siswa baru, aku dimasukkan ke kelas 2B, yang menurut orang-orang adalah kelas buangan. Bagiku, bahkan sekolah itu isinya anak-anak buangan yang tak tertampung di sekolah negeri atau swasta bergengsi.

Aku merupakan siswa pindahan dari luar kota. Dianggap anak desa, padahal rumahku berada tak terlalu jauh dari sekolah. Artinya anak kota juga, yang tak sengaja masuk SMP di daerah. Lalu balik ke kota lagi agar dekat dengan fasilitas pendidikan.

Gedung sekolahnya bagus, mata pelajarannya bagus. Hanya beberapa hal yang membuat sekolah ini terkesan kurang baik. Tapi sebagai alumni, aku tetap punya kesan baik pada sekolah ini.

Ruang kelas 2B terletak di puncak teratas. Diapit kantor yayasan dan kantor sekolah, bersama kembarannya, 2A. Sejak awal tahun ajaran, kami diwanti-wanti, "Jangan ribut, kalian bertetangga dengan kantor yayasan!"

Dua belas tahun sekolah, belum pernah aku merasakan sekali saja kelas hening seharian penuh. Tidak akan ada, kecuali hari libur. Di sekolah mana pun. Apalagi kami, yang sudah sejak awal dicap "siswa buangan".

Cap yang melekat pada siswa 2B distempel oleh seluruh penghuni sekolah. Pun oleh guru, bahkan oleh kami sendiri. Di kelas itu ada siswa yang pernah mengejar siswa lainnya dengan pisau. Ada yang melakukan pelecehan seksual, mencuri, dll.

Kalau kakakku tahu begitu, mungkin aku tak disekolahkan di sana. Tapi kembali lagi, itu semata bukan faktor sekolah. Menurutku faktor keluarga tetap yang utama, sebab masih ada segelintir siswa yang masih waras dan berprestasi.

Suatu hari, kelas riuh bukan main. Tumben guru tak masuk. Padahal biasanya (sebagaimana umum di sekolah swasta), jika ada guru yang izin, akan ada guru lain yang menggantikan.

Hari itu seisi kelas seperti keranjingan. Ada yang naik ke meja, ada yang berlarian, lempar-lemparan kertas. Tak ada satu pun yang diam. Yang tak ke sana kemari sibuk menertawakan ini itu. Aku ada di antara kelompok yang paling ribut.

Sedang heboh-hebohnya tertawa, seorang siswa dari kelas sebelah melintas. Ia terkenal sebagai anak baik, paling kalem di antara siswa kelas 2. Saat lewat tepat di depan kelas kami, ia melongok ke dalam, lalu melanjutkan perjalanan. Sebentar saja, ia kembali lagi ke kelas.

Melihat tingkah teman dari kelas tetangga itu, firasatku mulai tak enak. Pasti ada yang direncanakan. Karena kalau dihitung-hitung, waktu yang dia butuhkan untuk ke kamar kecil harusnya lebih panjang. Ia pasti berbalik ketika sampai di depan kantor yayasan. Untuk apa?

Demi menghindari hal yang tak diinginkan, aku menjauh dari kerumunan. Duduk sendiri di sudut kelas, dan menunggu apa yang akan terjadi.

Benar saja, cepat sekali terjadinya. Seorang guru dari kelas 2A datang membawa ember cuci tangan. Byur! Ia melempar air dengan embernya sekaligus ke barisan yang ribut itu. Ember melayang melalui jendela kelas yang terbuka.

Alih-alih hening, justru tawa kami pecah! Simpati remaja belum terasah, seisi kelas menganggap itu hiburan dadakan. Apalagi aku, yang selamat walaupun ribut juga.

Tak sampai di situ. Setelah membereskan tubuh masing-masing entah dengan apa, teman-teman yang kuyup mengisi ulang ember yang dihadiahkan ibu guru tadi dengan air di kelas kami. Aku pun tak tahu tujuannya apa.

Sampai kemudian di jam istirahat. Ketika siswa-siswa di kelas bawah berhamburan keluar menuju kantin, hujan dadakan dari kelasku mengguyur mereka. Anak normal menangis sih, sama seperti para korban itu. Hanya gerombolan penjahat abege di atas sana yang terbahak-bahak.

Ada pelajaran penting yang kuambil dari kenangan masa remaja itu. Pertama, sekolah yang bagus bukan dilihat dari fisik bangunannya, tapi kualitas guru-gurunya.

Kedua, apa yang dilakukan orang dewasa berpengaruh pada remaja/anak-anak di sekitarnya. Guru kencing berdiri murid kencing berlari itu nyata. Guru menyiram siswa, siswa menyiram temannya. Itu adil namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun