Sampai sebatas itu kami menggosip. Entah skenario dari mana, tahu-tahu aku harus berurusan dengan teman yang utang ini. Kita beri dia nama Bunga. Karena Kembang sudah dipakai.
Aku datang ke rumah Bunga untuk mengantar sesuatu, aku lupa barang apa. Yang aku tahu, barang itu harus diantar ke rumah seseorang bernama Bunga, yang ternyata Bunga itu.
Aku yang sudah sangat lama tak bertemu dengannya, jadi agak pangling. Rumah Bunga terbilang besar, meski agak tak beraturan.
Bisa dibilang, aku adalah orang yang suka mengamati sekitar, memandangi sesuatu yang menurut orang mungkin biasa saja. Jika bepergian, aku jarang tertidur, tapi asyik melihat pemandangan di sepanjang jalan. Aku sangat menikmati, meski terkesan udik di mata orang lain.
Nah, kebiasaan itu otomatis terulang di rumah Bunga. Benakku menghimpun informasi tentang coretan dindingnya, keramaian yang mungkin ada ketika anak-anaknya di rumah, di lokasi manakah biasanya penghuni rumah itu mengobrol bersama?
Tapi sepertinya Bunga menerjemahkan bahwa mataku sedang mengagumi kemegahan rumahnya. Mengira-ngira mobil apa yang ada di garasi, atau apakah semua kamar dilengkapi pendingin udara. Padahal setitik pun tidak.
"Kak, punya kenalan yang bisa bantu beres-beres dak?" tanyanya ketika aku pamit.
"Dak ada," kataku singkat karena harus segera pulang.
"Aku butuh yang beres-beres ini. Kalau tukang cuci dan pengasuh anak sudah ada."
Aku terdiam. Memikirkan, ia punya lebih dari satu asisten rumah tangga. Apa kabar utangnya pada Kembang? Tapi lagi-lagi ia salah paham dengan ekspresiku.
"Masak pun aku dibantu kok kak, itu cuma ngasih instruksi bae. Nanti yang nyuci pakaian dengan yang ngasuh anak beda orang lagi. Sekarang masih butuh untuk beres-beres, capek ngurus rumah sebesar ini."