Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kami di Tengah Gelombang Pandemi

8 April 2020   07:00 Diperbarui: 8 April 2020   07:16 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Matt Hardy on Unsplash

Pandemi Covid-19 bukan hanya menguji kualitas pemimpin negara, tapi juga kepala dan ibu rumah tangga. Lembaga kecil ini tak ayal ikut goyah, sebagaimana yang sempat kuulas di artikel sebelumnya.

Kalau untuk satu dua pekan, barangkali tepatlah untuk penghuni rumah berkumpul. Suami-istri saling romantis ria, bermain bersama anak-anak, membereskan rumah bersama.

Tapi jika berbulan-bulan, bahkan sampai waktu yang belum dapat dipastikan ... alih-alih mengembalikan keharmonisan, justru bisa sebaliknya. Faktor ekonomi tentu jadi biang keladinya.

Rumah tangga sangat mapan sekalipun pasti berhitung dengan kondisi saat ini. Pemasukan berkurang, bahkan bagi tidak sedikit orang, hilang sama sekali. Sedangkan pengeluaran hanya bisa diminimalisir. Tak mungkin dihilangkan.

Aku tidak hendak membagi tips, hanya menceritakan kondisi rumah tangga kami yang sangat sederhana. Mungkin menginspirasi, mungkin bikin terharu. Halah lebay!

Di saat sulit ini, suami tidak bisa mencari nafkah secara optimal. Siapa yang diandalkan? Ya wakilnyalah! Aku, sang manajer, upik abu, sekaligus tukang ojek anak-anak sekolah.

Alhamdulillah saat kondisi normal, pendapatanku dari menulis, editing, dll, masih bisa ditabung. Suami memang menyarankan begitu. Apa pun kebutuhanku, selama beliau masih bisa menanggung, biar dia yang belikan. So sweet kan!

Itu karena dia tahu istrinya paling-paling cuma minta kopi dan bakso. Tak mungkin aku minta BMW atau sekadar NMAX. Kelak setelah kaya raya pun, kami bercita-cita akan tetap dalam kesederhanaan. Ya ya ya.

Maka dalam kondisi pandemi ini, saatnya aku bersedekah untuk rumah kami. Menurut Islam, jika istri mengeluarkan hartanya untuk suami dan tanggungannya, itu dinilai sebagai sedekah.

Sedikit demi sedikit tabunganku ditarik. Kuniatkan sedekah, karena aku tak mau kemudian merasa mentang-mentang. Dan aku sangat paham, sebagai laki-laki, suamiku pun sebenarnya merasa berat hidup dari uang istri.

dokpri | salah satu keseruan sebelum Corona datang
dokpri | salah satu keseruan sebelum Corona datang
Jangan Egois 
Ketika Jambi pertama kali masuk zona merah, orang berduyun-duyun membeli beras di beberapa swalayan. Jujur aku ikut membeli, tapi di minimarket dekat rumah. Ambil sekarung kecil bersama 10 butir telur.

Hari itu, sebenarnya aku punya modal untuk panic buying. Tapi aku khawatir, jika membeli di luar jumlah biasanya, tetangga yang melihat akan ikut panik.

Beli ke swalayan besar? Aku ogah berdesak-desakan. Antre saja aku malas.

Syukurnya kemudian beredar video seseorang yang makan nasi hanya berlauk telur ceplok dan kecap. Aku merasa terdukung, dan makin yakin sudah berada di jalur yang benar.

Pikirkan orang yang dalam kondisi normal saja kesulitan memenuhi kebutuhan mereka!

Sebenarnya aku telah 'diajari' untuk tidak membeli di luar batas kewajaran ketika presiden mengumumkan pasien Covid-19 pertama di awal Maret lalu. Ketika itu, suami baru pulang dari Jawa, dan aku bersama anak-anak hendak menjemput ke bandara.

Malamnya aku memesan satu boks masker pada beberapa teman yang bekerja di apotek. Berpikir aku akan butuh banyak selama virus Corona masih menghantui dunia. Jadi menurut perkiraan, paginya aku akan mendapat beberapa boks masker untuk persediaan selama pandemi.

Sebelum memesan, aku sudah mendatangi beberapa apotek dan minimarket Alfa/Indo yang ada di tiap tikungan itu, semua mengaku stok maskernya kosong.

Ketika kupesan pada teman yang bekerja di apotek, kebanyakan mereka menyanggupi. Hanya satu orang yang bilang stok kosong sejak Corona masih di Wuhan.

Kemudian terbacalah sebuah broadcast, yang intinya mengimbau masyarakat agar jangan memborong masker. Sebab pihak medis lebih membutuhkan daripada warga biasa. Akan berbahaya jika pada kondisi darurat, yang lebih membutuhkan justru tidak mendapatkannya.

Seketika aku merasa jahat. Alasan yang disampaikan penulis pesan tepat sekali, ada tenaga profesional yang jauh lebih membutuhkan daripada awam sepertiku.

Untungnya, pagi-pagi sekali semua yang semalam menyanggupi, mengirim pesan maaf. Ternyata stok masker di apotek mereka kosong. Dalam waktu semalam! Tak sesakti bikin candi sih.

Hanya Membeli yang Penting
Aku dan suami bersyukur tak terjebak panic buying. Pernah beredar hoaks bahwa pasar akan ditutup selama lima hari. Bukan main ramai pasar tradisional dekat rumahku. Belum tengah hari, dagangan yang dijajakan pedagang habis terjual.

Tak selalu karena berpikir panjang, kami tak ikut menyetok cabai dan sayuran karena kulkas sedang rusak. Beli secukupnya saja yang masih mampu bertahan di dalam kulkas sekarat.

Dasar nasib sedang baik, hari-hari berlalu, pasar tetap buka. Harga-harga justru turun. Tapi untuk bahan makanan yang tidak harus masuk ke kulkas, suami tetap membeli secukupnya.

Kalaupun membeli banyak, tidak melimpah. Lebih pada upaya tidak berulang-ulang keluar rumah. Bahkan ajaibnya, kami tidak jajan! Aku sempat mengeluh saat membuka tas belanja, semuanya kebutuhan pokok.

"Yang Abi bawa bukan duit Abi. Dak berani mau jajan-jajan."

"Kan dimakan samo-samo," kataku.

"Ini belum sebulan, Mi. kito belum tahu ke depan kayak mano," jawab suamiku.

Hatiku mengiyakan. Itulah bedanya laki-laki dan perempuan. Mereka berpikir lebih jauh saat aku masih mikirin seblak dan kebab.

Dan memang, kami tak jajan selama dua pekan. Prestasi yang luar biasa! Hari ke-15 akhirnya beli pempek karena tak tahan. Orang Jambi tak makan pempek setengah bulan, itu sungguh ujian yang berat.

Jangan Menambah Utang
Lama-lama suami memikirkan kulkas juga. Kami sempat berunding, aku lebih suka membeli barang secara tunai. Utang itu membebani hati siang malam. Tapi beliau menolak, tabunganku harus ditahan sekecil mungkin pengeluarannya.

Membeli dengan sistem murabahah menurutnya lebih aman. Tak akan ada denda, apalagi penarikan barang jika terjadi keterlambatan. Kuanalisis sebentar, belum mengambil saja sudah berpikir nunggak. Nanti malah kejadian.

No! Akhirnya kami sepakat, beli kulkas jika benda itu sudah benar-benar rusak. Nyatanya bagian freezer masih aman untuk daging ayam. Cabai dan beberapa buah disimpan di dalam kertas di luar kulkas. Sayur bisa beli dua atau tiga hari sekali di pasar dekat rumah.

Jadi buat apa diskusi panjang lebar! Hadeu.

Bebaskan Diri dari Stres
Hal berikutnya yang kami lakukan, selain jaga-jaga soal pengeluaran, adalah jaga kepala agar tetap waras.

Mengikuti imbauan WHO, membaca berita tentang pandemi sehari maksimal dua kali saja. Bahkan ada yang bilang sebaiknya tak usah disebut nama virus itu, agar ia tak semakin terpanggil.

Entah sejauh mana kebenarannya, kita cari aman saja.

Kalau diikuti memang kita jadi paranoid. Aku sempat sakit tenggorokan, pagi sore minum habbatussauda. Tak ketinggalan tiap jam 10 berjemur sambil menyapu halaman. Padahal biasanya minum habat kalau ingat, menyapu setelah pulang antar anak, dan seharian di dalam rumah.

Ada baiknya. Yang tidak baik adalah kecemasan itu.

Selain menghindari kekhawatiran yang berlebihan, stres juga kami tolak dengan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak marah. Asli berat.

Anak-anak bermain gila-gilaan, atau berantem berebut sesuatu. Ayam tetangga pagi siang sore setor kotoran di teras. Belum lagi ego kami masing-masing, yang kadang kami sendirilah yang menahan agar tak berakhir dengan keributan.

Bahkan ketika aku ngomel melihat tumpukan tugas sekolah si Kakak, suami buru-buru menelepon kepala sekolah. Memberi saran dan masukan, berharap ada perubahan kebijakan dari sekolah.

"Sudah, Mi?" katanya setelah menutup telepon.

Aku yang bingung. Sudah apanya?

"Abi sudah telepon kepsek. Please jangan stres!"

Aku pun tertawa. Inisiatifnya boleh bangetlah. Terlepas dari sukses tidaknya.

Nah begitulah Bapak Ibu pembaca, tidak ada tips kan? Hanya obrolan kosong antara aku dan laptop. Tidak ada apa-apanya dibanding upaya tim medis, ekonom, para guru, dan lain sebagainya.

Tidak cocok untuk mengedukasi orang-orang yang lebih berpengalaman, apalagi yang usia pernikahan dan kemampuan ekonominya di atas kami. Tapi ini adalah upaya kecil aku dan suami melewati gelombang serta badai, di atas perahu mungil kami.

Ah, sok romantis!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun