Hari ini, masuk (lagi) daftar tugas untuk siswa. Total sehari bisa sepuluh, dari yang remeh sampai yang merepotkan seisi rumah. Sedikitnya lima tugas sehari. Itu paling sedikit!
Kalau orang-orang di Pulau Jawa barangkali baru kali ini merasakan diam di rumah. Kami yang di Sumatra, sejak tahun-tahun lalu sudah sering mengalami ini. Anak-anak terpaksa diliburkan karena kabut asap.
Sekarang terpaksa libur lagi karena wabah Corona. Tentu kami bersyukur, kebijakan ini meminimalisir penularan virus yang terkenal supergercep itu.
Zaman aku SD dulu, jarang libur. Sekalinya libur, 40 hari! Milenial tua juga pasti merasakan. Dan itu membosankan bagi anak orang biasa sepertiku. Orangtua sih menang banyak, tak perlu keluar duit jajan. Dan tak ada kewajiban ini itu urusan sekolah anak.
Beda dengan sekarang. Libur hilang timbul, sekalinya libur sekeluarga tertekan. Gimana gak tertekan kalau bunyinya libur tapi tugas bejibun?
Sebagian besar guru mungkin tak setuju denganku. Bukankah ini kesempatan dekat dengan anak? Asal tahu ya Bapak/Ibu Guru yang terhormat, sejak awal kupilihkan sekolah untuk anakku yang enggak full day school.
Karena aku tak mau anak-anak kehilangan hak bermain mereka. Supaya mereka punya kesempatan peluk Ummi Abinya penuh tenaga sepulang sekolah, bukan bertemu dalam keadaan sama-sama lelah. Biar sore mereka punya kesempatan main sepeda di lapangan, mumpung tanah lapang masih ada.
Tapi dengan libur model begini, pupuslah harapanku.
Aku yakin ada salah tafsir oleh guru atau sekolah terkait instruksi pemerintah tentang belajar di rumah. Betul orangtua mendampingi, namanya juga di rumah, dekat dengan orangtua.
Syukurnya aku memang dari dulu bekerja dari rumah, tapi bagaimana wali murid lain? Wong aku yang di rumah saja kerepotan dengan tugas-tugas anak. Sebab kita yang harus mengawasi, yang mengajari, mengirim ke wali kelas, dll. Padahal kita masih harus bekerja.
Yang kupahami, belajar dari rumah itu, guru tetap mengajar lewat media apa saja yang mereka punya, kemudian (salah satunya) dikirim ke grup kelas/wali murid. Jadi kontribusi orangtua adalah menyampaikan pesan sang guru dan mengawasi anak saat belajar. Bukan mengajari, merekam, menyetor dan macam-macam titah yang membuatku merasa sia-sia membayar SPP.