Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diputus oleh Pilpres Tak Tersambung oleh Corona

19 Maret 2020   07:54 Diperbarui: 19 Maret 2020   07:52 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelak, 10 atau 20 tahun lagi, (kalau masih hidup) kita akan bercerita pada anak-anak muda di masa itu. Betapa puluhan tahun silam kami pernah terpecah-belah karena perbedaan pilihan politik. Bahkan setelah tokoh yang kami elu-elukan masuk dalam satu gerbong, kami masih tercerai berai.

Paragraf itu akan epik banget kalau saat diceritakan kita sudah bersatu kembali. Kalau belum, ya basi. Mungin sekadar jadi sejarah asal mula kehancuran Indonesia di masa modern. Duh, ngerinya.

Tapi itu mungkin kan? Mungkin banget. Faktanya yang tahun lalu saling gebuk karena pemilu, terutama pilpres, hari ini tak juga bisa rekat kembali. Bahkan setelah kedatangan Corona, kita masih berseberangan dengan cara yang frontal.

Corona yang sebelumnya jadi bahan candaan, sekarang jadi bahan keributan. Yang setuju lockdown dengan yang tidak, saling adu argumen habis-habisan di medsos. Faktornya bukan soal kesehatan dan dampak lain, tapi siapa yang memberi kebijakan.

Jadi pilihan kita bukan berdasar dalil atau alasan logis, tapi hanya soal suka atau tidak suka. Sama sekali tidak ilmiah. Toh, alasan bisa dicari.

Sudah beredar berbagai opini menarik yang cerdas, ilmiah, dan manusiawi, tapi yang bebal tetap dalam kebebalannya. Sudah banyak video pendek disebar, berisi seruan yang mengedukasi dengan cara menyenangkan dan menenangkan, tetap saja semangat berdebat dinomorsatukan.

Apa susahnya belajar percaya?

Kalau disuruh di rumah, ya tetaplah di rumah kecuali untuk urusan yang urgen. Tidak ada yang melarang mencari nafkah, tidak perlu itu jadi bahan perdebatan.

Pemerintah lamban dan plin-plan, rumah sakit tak memadai, dolar naik, bahan pokok langka .... Itu semua masalah, tapi bukan milik kita pribadi. Biarlah yang bersangkutan bekerja, kita lakukan yang bisa dilakukan. Minimal dengan tidak ikut nyemplung dalam perdebatan.

Sebab debat itu mengeraskan hati, nantinya yang kita cari hanya pembenaran. Tak nampak lagi benar salah karena kadung tersulut emosi. Alhasil, seperti yang kusebut di atas. Benar salah didasari atas suka atau tidak suka.

Baru saja sebuah pesan paling gila terbaca di HP. Nyesel sih, pagi-pagi buka WAG itu. Bikin rusak hati. Ingin menegur, pasti yang ditegur ngegas. Sudah tabiatnya.

Salah satu anggota grup membagikan dokumen fatwa MUI dalam format pdf. Isinya sangat baik, umat Islam diminta proporsional menanggapi info terkait Corona, patuh pada pemerintah, tidak menyelenggarakan keramaian, tersamasuk salat Jumat jika berada di wilayah terdampak, dll.

Apa yang keliru? Bahkan dasar hukumnya amat jelas dan lebih dari cukup. Ayat Al-Qur'an, hadis-hadis sahih, dan pendapat ulama. Yang memfatwakan pun sekumpulan ulama yang insyaallah mereka paham dan yakin bahwa setiap yang mereka hasilkan dari rapat, akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak.

Tapi ada satu orang yang mungkin lebih berilmu dan lebih saleh dari sederet ulama di MUI. Dengan gagah dia bilang, "Ini fatwa menyesatkan."

tangkapan layar WAG
tangkapan layar WAG

Aku percaya, bukan hanya aku yang jengkel tapi berusaha menahan diri dari saling bantah. Kalau MUI pun gak ente percaya, terus mau percaya siapa? Ah, biarlah satu orang binasa dengan kebodohannya. Daripada berdebat di WAG, menang jadi abu kalah jadi arang.

Iya, terbalik. Gak usah debat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun