Mohon tunggu...
Rosiana Febriyanti
Rosiana Febriyanti Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga dan guru

Senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Melepaskan dan Memaafkan

22 Mei 2020   04:51 Diperbarui: 22 Mei 2020   04:45 1705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak harus menunggu lebaran untuk saling memaafkan. Pengalaman saya dalam hal memaafkan tidak mudah, tetapi berkat bantuan teman-teman saya sedikit lega setelah mengungkapkan isi hati saya. Begitupula orang yang telah membuat saya sakit hati, ia merasa lega setelah mengungkapkan isi hatinya. 

Tidak mudah tetapi melegakan dan diakhiri dengan berpelukan, menangis, dan menyadari kesalahan masing-masing. Klise memang, tetapi perkara memaafkan adalah hal yang indah sekaligus penuh hikmah yang justru berbuah manis. Persahabatan saya dengannya masih terjalin mengalir seperti sungai, dan masih bisa bertukar hadiah tanpa menunggu momen ulang tahun.

Tidak selalu yang salah duluan yang harus meminta maaf tetapi siapa yang sadar duluan yang sanggup menurunkan gengsinya untuk meminta maaf. Itu baru luar biasa. Bagian tersulit bagi saya adalah justru memaafkan diri sendiri ketika sesuatu berjalan tidak sesuai rencana saya, inilah kelemahan perfeksionis yang mudah stres.

Saya sempat menyalahkan diri sendiri saat gagal, merasa kecewa, marah, malu, dan terjebak dalam pikiran yang tidak benar terhadap diri sendiri. Maka saya mencari pertolongan dengan curhat ke orang yang saya percaya.

Baik memaafkan diri sendiri maupun memaafkan orang lain tidak akan membuat saya merugi, justru lebih menenangkan. Sebelum memutuskan untuk menyimpan rasa sakit hati saya merasa perlu untuk menanyakan diri sendiri, kesalahan apa yang diperbuatnya, mungkin saya terjebak pada yang zohir terlihat padahal tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi, apa yang ingin saya lakukan sebagai respon pertama tetapi saya urung melakukannya. Ternyata urusan saya belum tuntas sehingga saya terjebak dalam pikiran negatif saya atau su'uzhon terhadapnya. Tidak ada alasan buat saya membencinya dan bertahan dalam kebencian (uring-uringan), dan menumpuk kemarahan saya.

Saya lantas bertanya pada diri sendiri, apa saat itu saya takut atau malu untuk marah/ terobsesi dengan luka masa lalu yang mengakibatkan ketidaknyamanan. Apa kemarahan itu menjernihkan pikiran saya atau sebaliknya. Lalu saya menarik napas panjang sambil merenungi kebodohan saya.

Saya baru bisa memaafkan ketika saya sadar dan mengakui bahwa saya marah lalu membiarkan sampah emosi selama ini, kemudian tersadar bahwa tidak ada gunanya semua itu. Justru memaafkan orang lain sejatinya bermanfaat bagi saya. Jasmani dan rohani, serta pikiran saya menjadi jauh lebih sehat dari sebelumnya. Memaafkan itu hal yang tidak bisa ditunda-tunda, harus sekarang juga melepaskan emosi yang menjadi racun dalam hati. Saya terima rasa sakit hati yang tertinggal dalam hati dan ikhlas menghadiahkan doa terbaik untuk dirinya. Inilah ikhtiar penyembuhan luka dalam hati.

Saya belajar menemukan makna di balik peristiwa itu dengan menuliskannya, lalu membandingkan mana yang lebih banyak antara kerugian-kerugian dari orang yang sudah menzalimi saya dan hikmah/manfaatnya bagi pengalaman hidup saya. Saya bersyukur bahwa menyadari tujuan hidup yang lebih mulia itu lebih utama sehingga tidak ingin lama-lama terpenjara dalam pikiran negatif. Inilah mujahadatun nafs, kesungguhan untuk mengalahkan diri sendiri.

Tidak perlu menunggu ada permintaan maaf dari orang itu kemudian saya maafkan. Rasulullah Saw. saja tidak menahan dendam kepada orang yang menzaliminya, masa saya enggan. Jika saya merasa berkali-kali disakiti oleh orang yang sama, artinya saya bodoh membiarkan orang itu melakukan perbuatan zalim. Sebaiknya, mulai sekarang saya belajar luwes menghadapinya, membebaskan diri dari pikiran buruk, dan mulai merancang bagaimana menjalin persahabatan dengannya. Kalau saya masih mengungkit-ungkit peristiwa itu berarti proses pemaafan belum selesai.

Pernah suatu hari ada orang yang tidak saya kenal dengan akrab, yang tampak sangat meyakinkan bahwa dia sedang kesulitan ekonomi, kemudian dia berutang pada saya. Namun ketika saya tagih justru dia lebih galak, padahal saya menagih pada waktu yang dia janjikan sendiri. Perkara sikapnya itu memang tidak ada hubungannya dengan pemaafan. Dia abai terhadap utangnya maka tugas saya adalah terus mengingatkannya dengan perasaan yang netral/tidak jengkel. Kalau masih ada jengkel saya berusaha menghilangkan perasaan itu. Meskipun orang itu kini menghilang dan uang saya tidak kembali, saya sudah bisa menertawakan kebodohan saya sendiri. Apakah itu sama artinya dengan saya belum memaafkannya? Utang tidak ada hubungannya dengan memaafkan, saya hanya berusaha melepaskan kejengkelan terhadapnya. Entah siapa nama orang itu, saya tidak ingin mengingat-ingatnya. Peristiwa itu tidak bisa terlupakan, saya terima dan saya lepaskan.

Tidak ada manusia yang benar-benar sempurna dan tidak ada kondisi yang benar-benar ideal seperti gambaran dalam pikiran kita. Kenyataan tidak semanis janji dan harapan yang sempat tersemat di hati kita. Semoga kita menjadi pemenang dalam mujahadun nafsu pada lebaran tahun ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun