Mohon tunggu...
Steve 09
Steve 09 Mohon Tunggu... lainnya -

iqro`

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Mangan Ora Mangan Sing Penting Kumpul" Adalah Filosofi Basi?

10 September 2013   02:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:07 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mangan ora mangan sing penting kumpul  yang berarti makan tidak makan yang penting berkumpul adalah salah satu filosofi kekeluargaan  masyarakat Jawa zaman dulu (sebatas yang saya ketahui). Filosofi ini barangkali dilandasi oleh prinsip gotong royong yang begitu tinggi dan mengakar di masyarakat Jawa (mungkin juga seluruh Indonesia) pada waktu itu. Keluarga adalah elemen penting yang tidak dipisahkan satu sama lainnya sehingga sepertinya ada rasa berat ketika salah satu darinya harus pergi meninggalkan jalinan itu. Jalinan yang begitu kuat dalam intern keluarga berimbas kepada semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Membangun rumah cukup dilakukan oleh orang satu RT dengan bayaran makan pagi dan siang saja. Suasana hangat begitu terasa ketika tiba jam makan.  Mereka dengan peluh yang masih membasahi tubuh begitu menikmati makan gratis sederhana diiringi canda ringan satu sama lainnya. Ketika ada acara pernikahan, semua membantu secara suka rela. Tidak perlu repot-repot mencari gedung mewah berbayar mahal. Setiap orang bersedia menyediakan tempat untuk hajatan itu. Suasana begitu harmonis. Belum lagi suasana nonton TVRI hitam putih bersama di salah satu rumah warga karena dialah satu-satunya pemilik TV di kampung yang begitu ramai penuh riuh rendah.  Ah suasana itu begitu penuh nostalgia. Sepiring sayur dan lauk seadanya yang dikirim antar tetangga juga begitu menggelitik hati yang kini  sudah jauh dari peradaban lalu.

---

Itu semua adalah masa lalu, kini filosofi itu terbalik menjadi kumpul ora kumpul sing penting mangan (kumpul tidak kumpul yang penting makan). Sekarang menjadi TKI jauh dari istri atau suami adalah pilihan demi sesuap nasi dan harapan masa depan. Aspek ekonomi benar-benar menjadi nomor satu. Masalah mendidik istri dan anak menjadi nomor sekian asalkan uang bulanan lancar terkirim. Gaya hidup individualis menawarkan cita-cita hedonis yang entah dari mana datangnya telah merasuki jiwa-jiwa masyarakat yang dulunya humanis walaupun kadang harus meringis demi mengganjal perut lapar anaknya yang menangis. Peradaban telah berubah. Rumah kini semakin berdinding tebal dan berpagar. Pagar yang membatasi rumah dengan dunia luar barangkali adalah cermin ketidaksiapan tuan rumah dalam menerima tamu. Betapa tamu kini dianggap lebih banyak merepotkan sehingga harus diciptakan pagar pembatas. Ah barangkali ini hanya suudzon saya sebagai orang kampung yang tidak kenal peradaban kota.

---

Barangkali teknologi yang semakin canggih bisa menggantikan itu semua. Mangan ora mangan sing penting kumpul adalah filosofi basi. Internet bisa mengganti itu semua. Komunikasi tidak tersekat dinding jarak lagi. Bukankah kiriman bulanan yang lancar sangat membahagiakan dan ucapan “terima kasih kiriman sudah sampai” bisa langsung terucap atau terketik dalam hitungan detik saja. Ah bagi orang kampung  seperti saya maya tetaplah maya. Saya bisa melihat di balik raut muka mereka dan bola mata mereka bahwa senyum manis yang nyata, peluk manja yang sesungguhnya tetap tidak tergantikan. Teknologi boleh maju dan semakin canggih tapi fitrah manusia itu alami. Debu-debu zaman yang membawa perubahan nilai peradaban saja yang sedikit mengkamuflasekan nilai-nilai nyata kehidupan. Betapa norma kehidupan yang individualistis itu sudah bisa diterima di masyarakat. Ah memang peradaban hedonis telah sangat menggeser norma-norma gotong royong masa lalu.

---

Kemiskinan menjadi momok menakutkan bagi siapa saja yang hidup di zaman ketika acara-acara TV menampilkan indahnya hidup dengan kemewahan menawarkan aksesoris dunia yang penuh warna. Takut miskin justru tanpa disadari malah memiskinkan jiwa-jiwa kerdil yang tidak kenal syukur lagi. Kekayaan hati adalah harta karun terpendam yang sangat sulit untuk ditemui lagi. Semua berlomba-lomba mengeruk tambang kemiskinan lewat khayalan hidup mulia jika berharta dan berkuasa. Etika-etika kemasyarakatan dilanggar. Individualisme yang berujung hedonisme begitu menguasai. Para perindu spirit kekeluargaan menjerit. Mereka ditinggalkan. Merana…….

---

Kini orang kampung ini hanya bisa bilang : “Para pemburu harta ayo pulang, istrimu membutuhkan dunia nyatamu, anakmu butuh teladanmu, masyarakat butuh pencerahanmu…...”

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun