Mangan ora mangan sing penting kumpul yang berarti makan tidak makan yang penting berkumpul adalah salah satu filosofi kekeluargaan masyarakat Jawa zaman dulu (sebatas yang saya ketahui). Filosofi ini barangkali dilandasi oleh prinsip gotong royong yang begitu tinggi dan mengakar di masyarakat Jawa (mungkin juga seluruh Indonesia) pada waktu itu. Keluarga adalah elemen penting yang tidak dipisahkan satu sama lainnya sehingga sepertinya ada rasa berat ketika salah satu darinya harus pergi meninggalkan jalinan itu. Jalinan yang begitu kuat dalam intern keluarga berimbas kepada semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Membangun rumah cukup dilakukan oleh orang satu RT dengan bayaran makan pagi dan siang saja. Suasana hangat begitu terasa ketika tiba jam makan. Mereka dengan peluh yang masih membasahi tubuh begitu menikmati makan gratis sederhana diiringi canda ringan satu sama lainnya. Ketika ada acara pernikahan, semua membantu secara suka rela. Tidak perlu repot-repot mencari gedung mewah berbayar mahal. Setiap orang bersedia menyediakan tempat untuk hajatan itu. Suasana begitu harmonis. Belum lagi suasana nonton TVRI hitam putih bersama di salah satu rumah warga karena dialah satu-satunya pemilik TV di kampung yang begitu ramai penuh riuh rendah. Ah suasana itu begitu penuh nostalgia. Sepiring sayur dan lauk seadanya yang dikirim antar tetangga juga begitu menggelitik hati yang kini sudah jauh dari peradaban lalu.