Mohon tunggu...
pangi syarwi
pangi syarwi Mohon Tunggu... -

||=Penulis Buku Titik Balik Demokrasi=||=Peneliti Indonesian Progressive Institute=||=Direktur Eksekutif Indonesian Border Watch (IBW)=||=Menulis di Kompas, Media Indoneia, Jurnal Nasional, Suara Karya, Koran Jakarta,Singgalang, Padang Ekspres,=|| Haluan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengebiri Hak Politik Sultan

5 September 2012   12:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketiga, kalau memang itu yang menjadi alasan Sri Sultan tak boleh berpolitik, harus juga ada aturan ke depannya pejabat negara seperti presiden, gubernur, wali kota/bupati tak boleh dan harus keluar dari pengurus partai. Logika sederhananya, bukankah setiap warga negara mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, baik hak maupun kewajibannya?

Lebih elok lagi, menteri dan presiden tidak boleh menjadi ketua umum partai dan pembina partai politik sebab presiden dan menteri adalah seorang pemimpin yang diberi amanah. Mereka harus fokus pada trayek mengurus rakyat dan mengakomodasi seluruh kehendak rakyat. Apalagi begitu seseorang menjadi presiden, dia tak lagi milik satu partai, golongan, atau faksi. Dia sudah menjadi milik umum dan berdiri di atas semua kelompok.

Lalu, apa bedanya Sri Sultan Hamengku Buwono dengan gubernur, menteri, bupati, wali kota, yang sama-sama punya hak politik? Mengapa perlakuan UUK DIY berbeda terhadap Sri Sultan Hamengku Buwono? Sementara aturan itu tak berlaku bagi presiden, menteri, bupati, wali kota, dan gubernur?

Keempat, monarki, hanya keluarga istana yang bisa menjadi gubernur. Rakyat Yogyakarta yang tetap menghendaki penetapan gubernur ketimbang pemilihan secara langsung karena melihat fenomena demokrasi liberal yang merusak sistem monarki dan rawan konflik. Artinya penetapan Sultan bukan lewat pemilihan langsung tapi kosensus adalah keputusan demokratis.

Yang jelas, hak politik Sri Sultan dikebiri melalui hasil konsensus DPR. Mayoritas fraksi mendukung agar Sultan tak menjadi anggota partai politik, sebagai persyaratan dan tumbal pengesahan UUK DIY.

Selain biaya yang besar dihabiskan untuk kampanye, demokrasi pemilihan langsung merusak budaya historis kesultanan Ngayogyakarta yang sudah lama dipertahankan dan dibangun, tak siap dengan demokrasi liberal yang merusak nilai-nilai monarki kesultanan. Demokrasi ada pembatasan waktu berkuasa, seperti dalam undang-undang pemilu, hanya dua kali berturut-turut. Berbeda dengan monarki yang memiliki kekuasaan seumur hidup dan diwariskan. Victor Silaen (2012) juga menulis, Athena kelak mengalami kehancuran, dan demokrasi kemudian dituding sebagai penyebabnya. Plato bahkan mempertautkan prinsip kebebasan yang niscaya berbahaya secara politik, kesetaraan, yang bukan tidak mungkin menimbulkan anarkisme atau ketidakteraturan.


Sistem monarki yang menjadi historis yang dipakai ratusan tahun di Yogyakarta, baik 100 persen, separo demokrasi dan separo monarki, tak menjadi persoalan krusial dalam bentuk sistem pemerintahan. Yang penting bagaimana menciptakan kesejahteraan, kestabilan, dan keamanan. Pendapat itu diperkuat oleh murid Plato yang lebih ekstrem. Ia justru mengategorikan demokrasi, tirani, dan oligarki pada tipe pemerintahan "yang buruk" atau menyimpang, sementara monarki, aristokrasi, dan polities atau pemerintahan konstitusional masuk tipe pemerintahan "yang baik".

Winston Churchil pernah berujar, "Democracy is worst possible from of government..." (Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan terburuk, kecuali bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang pernah dicoba dari waktu ke waktu).

Oleh: Pangi Syarwi
Analis pada Program Pascasarjana (PPs) Fisip Universitas Indonesia
Tulisan ini sudah di publikasikan di  Media Koran Jakarta Pada Tanggal 5 September 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun