Mohon tunggu...
Rino Sundawa Putra
Rino Sundawa Putra Mohon Tunggu... -

Mengalirlah seperti air, pada akhirnya akan bermuara pada satu tempat... (Been a Journalist, freelance writer, teach)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Patologi Politik dalam Implementasi Otonomi Daerah

3 Mei 2012   05:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 2638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional "Otonomi Daerah Dalam Perspektif Pendidikan Bangsa"

Kerjasama Apkasi dengan Universitas Siliwangi

Otonomi daerah memiliki perubahan fundamental pada sistem birokrasi pemerintahan antara pusat dan daerah, sekaligus juga perubahan pada sistem politik. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan konskwensi logis ketika daerah diberi kewenangan dan kekuasaan besar dalam mengelola daerahnya masing-masing. Dengan kondisi seperti ini, konstelasi politik daerah akan meningkat sebagai jalan memperebutkan kekuasaan daerah yang sudah sangat otonom. Peningkatan konstelasi politik daerah sebagai bagian implementasi otonomi daerah memiliki implikasi negatif terhadap jalannya roda pemerintahan daerah atau sistem birokrasi di daerah. Implikasi negatif ini menyangkut keterlibatan birokrasi dan birokrat dalam politik praktis.

Artikel ini akan menyoroti mengenai dampak pelaksanaan otonomi daerah, yakni keterlibatan birokrasi dan para birokrat dalam konstelasi politik lokal. Gejala ini sangatlah umum dan terlihat vulgar pada setiap kontestasi politik di daerah, Pemilukada Provinsi, Kota dan Kabupaten. Sistem otonomi daerah ternyata melahirkan fenomena yang disebut dengan patologi politik, dimana ruang-ruang birokrasi yang seharusnya netral, fokus terhadap tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai pelayan publik "dipaksa" masuk dalam ranah politik. logika keterlibatan birokrasi dan para birokratnya kedalam politik praktis merupakan jaringan komplek antara elit politik lokal dan para pejabat birokrasi. Jaringan kompleks ini sebagai sebab akibat atau konskwensi logis dari implementasi otonomi daerah yang harus diurai.

Politisasi Birokrasi

Persoalan politisasi birokrasi memang bukanlah fenomena baru di Indonesia, jauh-jauh hari sebelum otonomi daerah diimplementasikan, rezim Orde Baru telah memanfaatkan struktur Birokrasi dari pusat hingga daerah sebagai pondasi dalam mempertahankan rezim. Begitu kuatnya tarikan politik menyeret birokrasi sehingga intervensi-intervensi politik terus membayangi birokrasi pada zaman Orde Baru. Pegawai Negeri Sipil yang idealnya tidak boleh memiliki afiliasi politik dan bersikap netral, justru dikondisikan sebagai agen-agen partai ditengah-tengah masyarakat. Pada waktu itu birokrasi dipersepsikan oleh masyarakat sebagai satu paket yang tidak bisa dipisahkan dari Golkar, partai penguasa, padahal birokrasi merupakan entitas yang terpisah dari sebuah rezim. Birokrasi memang menjadi sumber daya politik yang dianggap bisa ikut membantu dalam meraih dan mempertahankan sebuah kekuasaan.

Ketika Otonomi Daerah diimplementasikan, struktur politik yang tadinya memberikan episentrum yang besar kepada pusat, kini dipecah konsentrasinya ke daerah masing-masing yang meliputi Provinsi, Kota dan Kabupaten. Dalam UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat 5, Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Pasal ini memberikan kepastian hukum yang jelas bahwa secara politik arena perebutan kekuasaan di daerah telah menjadi domain mutlak orang-orang daerah, bukan lagi menjadi domain pusat, sebagaimana pada masa Orde Baru.

Ketika domain politik daerah mutlak sepenuhnya diberikan kepada orang-orang daerah, maka akan ada pergeseran orientasi politik. Pergeseran orientasi politik ini mempunyai implikasi yang mengarah pada adanya patologi politik, yakni pemanfaatan birokrasi daerah untuk kepentingan politik kelompok atau golongan. Birokrasi dihadapkan pada kenyataan baru, bila pada orde baru, birokrasi diseragamkan, entah itu keseragaman dalam orientasi kerja, orientasi pandangan, orientasi etika kerja dan oreintasi politik secara nasional, maka setelah otonomi daerah, birokrasi dihadapkan orientasi lokal yang sifatnya sangat dinamis seiring munculnya elit-elit lokal pasca implementasi Otonomi Daerah, dan ini memberi pilihan terhadap para pejabat yang menjalankan birokrasi. Masalah politisasi birokrasi adalah persoalan klasik, hanya saja kini persoalan ini digeser menjadi persoalan lokal seiring implementasi otonomi daerah. Pengelolaan sebuah pemerintahan idealnya memang harus dipisahkan dari ruang-ruang politik yang mencampurinya, walaupun sebuah pemerintahan dihasilkan dari proses politik, apalagi ketika sudah menyeret birokrasi ke dalam kubu-kubu politik yang membuat birokrasi menjadi kontra produktif dari patron tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Implikasi ini harus segera ditanggulangi, khususnya bagaimana mencari sistem yang memperkecil peluang pemanfaatan birokrasi ke dalam arena politik dalam ruang implementasi Otonomi Daerah.

Penelitian yang dilakukan LIPI tahun 2005 terhdap pilkada langsung di Malang, Gowa, dan Kutai Kartanegara menyebutkan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi birokrasi berpolitik, yaitu: kuatnya ketokohan (personality) menamamkan pengaruh terhadap PNS, vested interest PNS untuk mobilitas karir secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy. Mobilitas politik terhadap individu dan institusi birokrasi digerakkan melalui jalur primordialisme (kekerabatan dan asal usul kandidat). Juga adanya dilema "rezim pelaksana" pilkada dan tafsir regulasi sepihak yang terjadi saat pilkada. Dalam satu kasus ada tim sukses yang "bisa bermain" lewat desk pilkada untuk kemenangan kandidat. Faktor vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, juga kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik di era pilkada langsung.

Patologi Politik dan Patologi Birokrasi

Patologi politik dan patologi birokrasi merujuk pada pengertian dasarnya mengenai Patologi, yakni sebuah gejala penyakit yang terjadi, dimana sebagai akibatnya akan mengganggu dan mengakibatkan abnormal sebuah sistem. Penulis memberikan pengertian patologi politik sebagai sebuah gejala atau penyakit yang akan menggangu pada sistem politik dan berdampak pada terciptanya patologi birokrasi, yakni tergangunya (abnormal) sistem birokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun