Mohon tunggu...
Monica Putri
Monica Putri Mohon Tunggu... -

Monica seorang yang menyukai hal psikologi dan dunia anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dunia Si Cilik yang Telah Berbeda

30 Juni 2014   23:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:05 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Mie...mie...mie... Mie atas mie bawah

Mie depan, mie belakang

Mie 1 2 3... Mie 3 2 1....

Mie ciyot ciyot..... Mie ciyot ciyot....

Mie gulung gulung gulung.... Mie gulung gulung gulung.....”

Penggalan lagu bernada riang di atas terdengar keluar dari sekelompok anak-anak yang sedang bermain bersama, dengan canda tawa yang menghiasi suasana bermain mereka. Bermain merupakan kata yang identik dengan dunia anak-anak. Anak-anak yang dengan kepolosan dirinya, lebih sering menghabiskan waktunya dengan canda tawa melalui bermain bersama teman-temannya. Masih ingatkah kalian dengan permainan kalian sewaktu kecil? Dahulu di awal 90-an hingga awal-awal abad ke-21 di kalangan anak-anak masih akrab dengan permainan congklak, gangsing, petak umpet, domikado, benteng, bermain karet, dsb. Permainan tersebut menjadikan anak-anak lebih mengenal satu sama lain teman sepermainannya, mempererat hubungan antar sesama teman, dan membiasakan mereka untuk menyusun strategi di dalam kelompoknya. Namun, di manakah saat ini celoteh riang gembira anak-anak memainkan permainan tersebut?

Zaman kita saat ini adalah zaman modern dengan ciri masyarakatnya yang sudah mulai identik dengan sikap individualistisnya. Dengan zaman yang modern, perkembangan teknologi semakin canggih, sehingga menjadikan para orangtua memberikan hal-hal yang canggih kepada anak-anaknya, seperti gadget terbaru. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pemberian gadget terbaru kepada anak-anak, namun hal tersebut harus masih di bawah kontrol orangtua dan orangtua harus paham dari umur berapa seharusnya anak mereka berhak menerima gadgdet canggih dengan segala fasilitasnya. Fenomena ini menjadikan anak-anak terbiasa dengan kebiasaannya yang berpegangan erat dengan gadget canggihnya yang di dalamnya terdapat aplikasi permainan yang seru dan lebih modern, senang berhadapan terus-menerus di depan komputer atau laptop untuk menghabiskan waktunya dengan bermain games digital, senang dengan robot atau boneka atau permainan elektrik lainnya. Kebiasaan anak seperti itu menjadikan mereka “Pecandu Teknologi”. Mereka merasa kehilangan bila tidak bersentuhan dengan gadget yang disertai dengan permainan modern yang seru, dibanding menghabiskan waktu bermain permainan tradisional bersama teman-teman yang lainnya. Dalam Republika online Jumat, 17 Januari 2014, dikatakan bahwa :

“Berdasarkan hasil survei, satu dari tiga anak bahkan mulai menggunakan smartphoneketika berumur tiga tahun. Satu dari 10 anak menikmati gadget dalam usia yang lebih muda yakni dua tahun. Fenomena ini menunjukkan, jutaan anak mengalami kecanduan gadget. Tahun lalu, seorang gadis delapan tahiun menghabiskan empat ribu poundsterling ketika bermain online melalui gameiPad ayahnya. Raksasa teknologi Apple, pemilik merek iPad setidaknya telah mendapatkan 32,5 miliar poundsterling untuk pembelian aplikasi.”

(http://www.republika.co.id/berita/trendtek/gadget/14/01/17/mzjj2x-survei-jutaan-anak-usia-sd-kecanduan-gadget)

Mereka tidak ‘mencicipi’ masa anak-anak yang seharusnya dapat merasakan permainan tradisional dengan meghabiskan waktu bersama teman-teman. Dengan permainan tradisional seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak zaman dulu memberikan pengaruh yang positif, diantaranya mereka terbiasa untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, terbiasa untuk bekerjasama dengan orang lain, lebih mempererat pertemanan, dan lebih mengerti apa arti orang lain untuk dirinya. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan anak-anak masa kini yang akrab dengan games online atau permainan canggih lainnya yang menyebabkan mereka terbiasa hidup individualistis, sifat ego dirinya tinggi karena selalu berorientasi pada diri sendiri untuk menang, kurang mengenal dunia luar, kurang bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dan tidak terbiasa untuk bekerjasama dengan teman yang lain. Sebenarnya, tidak sepenuhnya permainan canggih memiliki dampak negatif. Hal tersebut juga memiliki dampak positif, seperti anak menjadi melek teknologi, dan tidak gagap dalam penggunaan teknologi. Namun, dalam hal ini orangtua harus berperan aktif supaya anak-anak dapat memaksimalkan penggunaan teknologi dengan baik.

Sebenarnya, fenomena yang terjadi ini tidak bisa disalahkan seratus persen kepada pihak anak. Karena, dalam seseorang melakukan suatu tindakan pasti dilandaskan dengan motif. Begitu pula di dalam diri anak-anak. Gerungan mengatakan bahwa :

“Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motif-motif manusia dapat bekerja secara sadar, dan juga secara tidak sadar.”

(Gerungan, 2009 : 151)

Kecenderungan anak-anak saat ini yang tidak mengenal permainan zaman dulu, yang telah teralihkan dengan permainan modern di gadget, dapat dipengaruhi oleh peran orang-orang di sekitarnya. Dalam kajian psikologi sosial, hal ini termasuk dalam motif sosiogenetis. Gerungan mengatakan bahwa :

“Motif sosiogenetis adalah motif yang dipelajari oleh orang dan berasal dari lingkungan kebudayaan dimana ia berada dan berkembang.” (Gerungan, 2009 : 154)

Selain itu, di dalam diri anak-anak memiliki sifat ingin tahu dan sifat meniru yang tinggi. Hal meniru tersebut berkaitan dengan teori pembelajaran sosial (social learning theory) dari Bandura.

“Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tentang tingkah laku manusia yang dilihat dalam segi interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku, dan faktor lingkungan.” (Hall, Calvin S , 1993 : 279)

Teori pembelajaran sosial ini menekankan pada proses meniru dan mengamati perilaku orang lain sebagai model bagi dirinya. Hal imitasi (meniru perilaku orang lain) dan pengamatan yang dilakukan oleh individu tersebut merupakan proses belajar untuk mereka bertindak.

Seperti halnya fenomena ini, hasil yang terjadi pada anak-anak sekarang merupakan proses dari pengamatan dan imitasi yang mereka lakukan. Seperti, mereka terbiasa bermain permainan di gadget dikarenakan mereka sering melihat keluarga atau teman mereka yang juga bertindak demikian. Dengan sifat anak-anak yang identik dengan kepolosannya, maka proses imitasi pun dengan mudah muncul hingga tidak terkendali dan hal tersebut berubah menjadi sebuah kebiasaan yang terus ‘dikonsumsi’.

Untuk kita yang telah bertumbuh dewasa dengan usia yang semakin bertambah, rasa kangen selalu terasa apabila ‘menengok’ ke belakang saat-saat permainan tradisional masih terus dimainkan. Perbedaan itu sangat terasa dengan anak kecil zaman sekarang, yang sebagian besar sudah tidak mengetahui permainan tersebut yang seharusnya mereka ‘konsumsi’. Miris rasanya melihat fenomena ini karena dahulu hampir di setiap sore anak-anak menghabiskan waktu dengan bermain permainan yang dilakukan bersama teman-temannya.

Kini, sudah saatnya peran aktif dari generasi muda untuk memperkenalkan permainan tradisional atau permainan zaman dahulu ke anak-anak, agar permainan tradisional tersebut tidak semakin hilang. Karena anak-anak saat ini juga harus dibiasakan untuk bermain hal-hal yang positif yang dapat membangun karakter diri mereka.

sumber :

Gerungan. 2009. Psikologi Sosial. Bandung : Reflika Aditama

Hall, Calvin S & Lindzey, Gardner. 1993. Psikologi Kepribadian 3 Teori-teori sifat dan Behavioristik.Yogyakarta : Kanisius

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun