Mohon tunggu...
Didik Fitrianto
Didik Fitrianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mencintai Laut, Lumpur dan Hujan

Terinspirasi dari kata-kata ini "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggul Laut Semarang dan Ancaman Tenggelamnya Desa-desa Pesisir di Demak

28 Maret 2018   10:44 Diperbarui: 28 Maret 2018   11:22 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu desa pesisir di Demak yang terendam banjir

Desa Bedono, tiga bulan pasca banjir rob 1 Desember 2017 masih menyisakan kerusakan yang cukup parah, jalan ambles, perahu-perahu nelayan yang hancur, dan rumah-rumah warga yang rusak. Desa Bedono, salah satu desa pesisir di Demak yang terdampak paling parah. Dampak banjir rob juga masih menyisakan trauma bagi para petambak di sepanjang pesisir Demak, ada ribuan petambak harus gigit jari, budidaya ikan bandeng dan udang yang menjadi tumpuan ekonomi satu-satunya,  amblas ditelan banjir rob.  

Nestapa seakan tidak mau lepas dari masyarakat di pesisir Demak, sejak tahun 2006 sudah ribuan hektar tambak tenggelam, ada 206 KK yang sudah direlokasi, dan kini ribuan rumah terendam rob saat air laut pasang. Selain banjir rob, masyarakat juga dihadapkan ancaman bahaya lain, penurunan muka tanah (Land Subsidence). Satu demi satu, rumah, tempat ibadah, sekolah, jalan, dan jembatan, hilang akibat laju penurunan tanah yang setiap tahunnya terus meningkat.

Oleh masyarakat pesisir Demak, 'bencana' diyakini berawal dari pembangunan perluasan pelabuhan tanjung emas, reklamasi pantai marina, dan pembukaan kawasan-kawasan industri baru di kawasan pesisir. Sejak saat itu, air rob mulai mendatangi rumah-rumah dan mematikan sumber pangan mereka, sawah, kebun, tambak, dan air bersih. Bagi masyarakat pesisir Demak apa yang dialami dua puluh tahun terakhir ini adalah bencana, sayangnya dalam Undang Undang No 24 tahun 2007 tentang kebencanaan, banjir rob tidak diakui.

Belum ada tindakan terstruktur yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan laju penurunan tanah dan banjir rob, hanya pencegahan instan seperti membuat pemecah gelombang, membangun jety dan melakukan penanaman mangrove yang asal-asalan, tidak ada penanganan jangka panjang.  Ironisnya, saat kawasan pesisir belum bisa diperbaiki,  pemerintah daerah justru membuat kebijakan dengan mengeluarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang merusak lingkungan. Salah satunya dengan membuka kawasan industri baru di kawasan pesisir.  

Tanggul laut bukan solusi

Rencana pembangunan tanggul laut terintegrasi dengan jalan tol Semarang - Demak, sudah ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 355/KPTS/M/2017. Tanggul laut diharapkan bisa menghilangkan banjir rob di daerah Semarang bagian utara sampai perbatasan Demak. Ini menjadi kabar baik bagi masyarakat yang terdampak banjir rob, tapi menjadi ancaman baru bagi daerah -- daerah sekitarnya, terutama Kecamatan Sayung ke arah timur, dari Desa Bedono sampai desa - desa di pesisir Kecamatan Wedung.

Ada dua faktor penyebab banjir rob semakin tinggi, pertama ,adanya kenaikan muka air laut akibat pemanasan global, dan penurunan muka tanah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan. Untuk kasus di pesisir Semarang dan Demak, penggunaan air tanah oleh industri lebih mendominasi. Mengutip hasil publikasi Jurnal Geodesi Undip, Januari 2018 tentang Penurunan Tanah Periode 2016 -- 2017, ditemukan korelasi pengambilan air tanah yang terus meningkat oleh industri dengan penurunan tanah. Penurunan tanah yang cukup besar terjadi di Kecamatan Sayung, terutama di Desa Purwosari dan Desa Bedono, penurunan tanah antara 12,701 cm -- 15, 052 cm.

Kementerian PUPR mengklaim tanggul laut bisa melindungi kawasan pesisir dari banjir rob, dan jalan tol yang berada di atasnya mampu mengatasi kemacetan dari jalan Kaligawe sampai Sayung Demak. Benarkah klaim tersebut? Untuk mengurangi kemacetan, pembangunan jalan tol memang bisa jadi alternatif. Tapi tidak untuk tanggul laut,  fungsi sebagai penahan  banjir rob masih sangat diragukan.

Tanggul laut yang akan dibangun sepanjang bibir pantai mulai dari kelurahan Terboyo Wetan sampai dengan Kecamatan Sayung justru akan mengancam ekologi, sosial dan ekonomi kawasan pesisir.  Belum lagi sungai -- sungai yang berada di dalam tanggul laut akan terganggu alirannya dan akan mengalami pendangkalan, banjir masih akan menjadi ancaman untuk kawasan yang berada di dalam tanggul. Sistem polder dan kolam retensi yang akan dibuat belum bisa menjawab persoalan tersebut.  

Solusi untuk mengatasi banjir rob bukan dengan membangun tanggul laut, tetapi dengan menyelesaikan terlebih dahulu akar persoalan, yakni penggunaan air tanah oleh industri. Inilah biang kerok penyebab land subsidence semakin meningkat sehingga banjir rob semakin parah. Pemerintah harus berani mengkaji ulang rencana pembangunan tanggul laut kalau memang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.

Siapa yang diuntungkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun