Mohon tunggu...
muntohar mumun
muntohar mumun Mohon Tunggu...

Bahwa, manusia harus memiliki prinsip (way of life) dan idealisme. Dan, diantara banyaknya faham yang ada, yang lebih baik diantara yang baik dan tidak lebih baik adalah, tentang prinsip humanisme egaliter. Genggam tangan, kita bersatu membangun Bumi yang lebih baik, lebih indah, romantis, dan harmonis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Konferensi "Ummat Pokoknya"

17 Juni 2014   01:37 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:27 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari, ada pertemuan dari berbagai aliran, kelompok, organisasi, sekte, ideologi, madzhab, serta faham tentang ke-islaman. Pertemuan ini digelar dalam rangka membahas persoalan-persoalan ummat islam yang sedang bergejolak di masyarakat. Dari semua undangan yang telah disebarkan, pencetus kegiatan ini kemudian memberikan sentuhan nama yang sedikit perlente untuk pertemuan yang sudah dia rancang; KONFERENSI UMMAT ISLAM. 
Waktu yang ditetapkan telah tiba. Hampir semua undangan dari berbagai perwakilan Ummat (islam) datang beramai-ramai. Semua berkumpul dalan satu ruangan yang sudah disiapkan. Semua fasilitas dari perlengkapan dialog hingga jajanan pasar sudah disiapkan penyelenggara. Harapannya, semua perwakilan bisa rilex dan berdialog dengan mental dan pikiran yang bahagia. 
Rentetan acara seremonial dari pembukaan acara sampai berbagai jenis sambutan telah usai. Tibalah masanya untuk membahas perkara inti. Dalam momentum ini, berdasarkan rapat pimpinan pihak penyelenggara konferensi ummat, telah menyepakati satu topik yang akan dibahas, yaitu tentang ketidakharmonisan intern ummat islam di Indonesia. 
Acara dimulai. Tanpa ada pimpinan acara. Yang ada adalah moderator yang menengahi pelbagai pendapat yang akan disampaikan dari semua perwakilan. Disaat acara mulai "diketok", ruangan konferensi langsung bergemuruh, ricuh, ramai. Semua perwakilan diberi satu kesempatan untuk menyampaikan gagasan dan resolusinya. 
Dari ujung depan hingga ujung belakang, peserta perwakilan sepertinya nampak begitu kesal mendengar beberapa pendapat yang tidak mereka setujui, yang tidak mereka sepakati. Setelah semua berbagi pendapatnya, dialog dimulai. Ruang konferensi semakin bergemuruh, semakin ricuh, semakin ramai. Mereka membahas, mendiskusikan, membicarakan, mengargumenkan, mendialogkan, menafsirkan, membenarkan serta menyalahkan beberapa sisi atau semua sisi dari berbagai kelompok keislaman tadi.

Suasana konferensi mulai tidak kondusif. Atmosfer ruangan yang tadi dingin, nyaman dan tenang, berubah menjadi suasana yang gerah dan tegang. 
Dari kelompok keislaman A, B, C, hingga Z tadi, semua mengeluarkan pendapatnya, perspektifnya, ideologinya, sambil berteriak2 mengacungkan jari tangan dengan dalil yang mereka kuasai, dan dari semua ilmu yang mereka miliki, mereka saling bertengkar, membentak, bahkan sesekali tangan mengepal serasa ingin memukul demi  memperebutkan dan memenangkan keislaman yang mereka anut serta mereka perjuangkan masing2. 
Mulai dari tataran syariat, muamalah, fiqih, tarekat, makrifat serta sumber2 dalil yang digunakan, mereka beradu pintar, beradu taqwa dan ngotot bahwa mereka yang paling benar. 
Demi apa yang mereka yakini dalam kelompok keislamannya masing-masing, mereka tidak ada yg mau mengalah, tidak ada toleransi, kalau perlu, demi nama Tuhan, dan membawa-bawa nama Tuhan, beberapa kelompok perwakilan ummat bahkan dengan ekstrim ada yang berteriak sambil mengatakan akan menghalalkan potong leher bagi orang2 yang tidak sejalan dengan apa yang mereka yakini. 
Inilah kenyataan di masyarakat dunia (ummat islam) era kekinian. Semua berpijak pada satu sudut pandangnya masing2. Saya tidak menyalahkan bagi mereka yang hanya menutup sebelah mata. Yang saya tentang adalah titik toleransi atas perbedaan yang sudah mereka musnahkan. 
Dalam kesempatan pertemuan itu, "ndelalah"nya saya memang tengah hadir untuk mewakili satu kelompok keislaman tertentu yang saya anut. Setelah semua keadaan semakin runyam dan kacau, aku memberanikan diri, mencoba mengajukan beberapa statementku; 
"Saudaraku sesama muslim yang aku hormati. Bolehkah saya bertanya?"
"Silahkan" jawab mereka. 
"Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa, mulai saat ini, kita harus membuang jauh-jauh istilah "kelompok" atau istilah-istilah lainnya dari sekarang juga. Ini sangat mengusik. Kita adalah satu. Yaitu satu Islam. Ummat Islam."
Mereka diam sejenak. Forum konferensi mulai bisa dikendalikan. Aku melanjutkan percakapanku. Moderator terlihat sedikit tenang. Dia mengusap keningnya yang berkeringat karena ikut-ikutan tegang. 
"Kawan-kawan semuanya, siapakah Tuhan kalian?"
"ALLAH SWT". Mereka menjawab, serentak. Saya melanjutkan lagi. 
"Siapa Nabi kalian?" "NABI MUHAMMAD SAW".
"Kitab apa yang kalian baca?""ALQUR'AN".
"Sunnah apa yang kalian teladani?" "Sunnah Rosul; Al HADITS". 
"Waktu sholat, apa yang kalian jadikan acuan untuk menyembah Tuhan kalian?""Qiblat; KA'BAH di Masjidil Haram".
"Kita sama-sama muslim saudaraku!. Kita menyembah Tuhan yang sama, Memiliki Nabi yang sama, berdasar pada hukum islam yang sama, bersujud mengarah ke qiblat yang sama, apalagi yang kalian perdebatkan hingga antar sesama saudara saling menghujat?, mengumpat?, mengusik, dan merusak?"
"Jikapun kalian mendebatkan hal-hal yang bersifat tafsir terhadap hukum dan berdebat tentang Imam (pemimpin yang dijadikan acuan hukum -lebih tepatnya tentang hukum-hukum fiqihiyah) kalian masing2, itu adalah HAK kalian semua. Terserah kalian mau beribadah dengan teknik apa dan berfiqih dengan imam siapa, hanya saja, apakah kalian lupa kalau perbedaan itu memang sebuah karunia? Apakah Allah dan Rosul kita pernah membenci bahkan menghujad perbedaan itu sendiri?". 
"Biarlah setiap manusia berpijak terhadap apa yang mereka yakini. Itu hak mereka yang perlu kita lindungi. TOLERANSI!! Adalah kunci untuk semua hal. Jika kalian ingin berdakwah, silahkan, tidak ada yang melarang. Yang saya tentang adalah CARA kalian yang ekstrim dan memaksa. Jikapun orang yang kalian dakwah-i itu tidak mengikuti apa yang ingin kalian doktrinkan, hargailah mereka, anggap saja mereka sebagai saudara yg sudah punya keyakinan sendiri. Kita jangan menyalahkannya, jangan memakinya. Jangan merusak, dan jangan meng-Kafirkan. Biarlah itu menjadi urusannya dengan TuhanNya".
"Jika kita bisa memahami apa yang substansial ini, sepertinya, dalam pikiran saya, umat islam di bumi ini tidak akan dengan mudahnya terpecah belah dan saling merusak satu dengan yang lainnya". 
Sebelum saya selesai menyampaikan argumen saya, tiba-tiba, suara yang berteriak mulai terdengar, dari depan hingga belakang 
"Pendapatmu tdk bisa kami terima!. POKOKNYA, saya dan kelompok saya yang paling benar!. Kami akan membenarkan apa yang sudah salah selama ini. Apapun caranya! POKOKNYA!!". Teriak kelompok A yang di depan. 
"Hei, yang paling benar adalah argumen kami. Kelompok kami yang paling benar. POKOKNYA hanya kelompok yang kami anut yang paling benar. Yang lain salah dan kafir". Suara teriakan terdengar lagi, dari kelompok lain, dari belakang. 
"Tidak! POKOKNYA kelompok kami yang paling moderat dan sesuai Al-Quran. Kalian semuanya harus bertobat karena banyak dosa!". Suara teriakan menimpali lagi, dari tengah. 
"Tidak! POKOKNYA kami yang paling benar!". "Tidak! Kalian salah. Kami yang benar". "Tidak!..........". Semuanya bersahutan. Dari semua arah. Bergemuruh. Panas. Tegang. Ricuh. Keras. Ramai. Tidak bisa dikondisikan. 
Moderator tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam, dan heran melihat tingkah polah perwakilan-perwakilan ummat yang dari awal dianggapnya "alim" justru meneriakkan kelaliman dan kekerasan sesama saudaranya. 
Sedangkan saya, juga ikut diam, sambil memegang kening yang tengah lelah mendengar teriakan-teriakan tidak berguna yang mereka lontarkan. Bingung, bagaimana caranya mengatasi masalah bersama dan mengakomodir berbagai kalangan dan perwakilan ummat jika kondisi konferensi seperti ini. Jika perwakilan-perwakilan yang dianggap sebagai pimpinan berpongah seperti ini, apa jadinya ummat islam di Indonesia? Apa jadinya Ummat islam di dunia?. Wallahu A'lam Bisshowab. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun