Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Honorer dan Upah Murah (Tidak Layak)

12 Maret 2019   09:50 Diperbarui: 12 Maret 2019   10:56 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

*Oleh: YAKOBUS SILA

Pada aksi May Day tanggal 1 Mei 2018 yang lalu, kaum buruh memenuhi bundaran Monas untuk menuntut upah yang layak. Dari sekian banyak kelompok buruh, ada kelompok  Guru Honorer yang berjuang untuk sejumlah besar guru honorer di Indonesia.

Ada beberapa hal yang dituntut, salah satunya adalah keinginan untuk diangkat menjadi PNS. Mengapa mereka ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (baca: PNS)? 

Salah satu pertimbangan mereka adalah ingin mendapatkan penghasilan yang tetap setiap bulan, dan kehidupan yang layak karena selama ini Guru Honorer diupah sangat murah, dan jauh dari kata, layak.

UPAH MURAH

Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan sejumlah guru honorer, penulis sering mendengarkan keluhan tentang upah yang dibayar sangat murah. Mereka mengeluhkan gaji yang sangat rendah, dan bahkan gaji tersebut dibayar per tiga bulan; sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan kalau dibandingkan dengan para pekerja pabrik, yang dibayar dengan standard UMR (Upah Minimum Regional) atau UMS (Upah Minimum Sektoral). 

Para pendidik berlabel honorer tersebut seharusnya digaji lebih layak dari para pekerja industri yang kebanyakan lulusan SMA, karena mereka (guru honorer) adalah asset bangsa yang turut mencerdaskan generasi muda.

 Mengapa guru honorer dibayar sangat murah? Hal itu bisa saja terjadi karena  pemerintah masih menghidupi adagium lama: "Para Pahlawan tanpa Tanda Jasa", untuk para guru. Mereka masih diberlakukan paradigm lama yang menindas di mana jasa-jasa mereka hanya diingat, tanpa dihargai dengan upah yang layak. 

Karl Max pada masanya, sudah memperjuangkan hal tersebut melalui idenya tentang nilai lebih, di mana nilai lebih dimiliki kapitalis, sementara kaum buruh/ proletar, hanya mendapatkan sisa dari nilai lebih tersebut. 

Praktik tersebut berkembangbiak di Indonesia, di mana para pemangku kepentingan mendapatkan jatah yang sangat besar, sementara guru honorer, misalnya, hanya mendapatkan sisa-sisa dari jatah tersebut; sebuah praktek yang sangat buruk, korup, dan memprihatinkan.

Kehidupan ekonomi antara guru honorer dengan para pemegang kekuasaan menjadi sangat timpang, pincang, dan irasional, sehingga ketika guru honorer dipaksa untuk meningkatkan kompetensi, paksaan tersebut tidak berbanding lurus dengan upah yang diperoleh setiap bulan atau setiap tiga bulan. 

Kehidupan para guru honorer menjadi sangat memprihatinka, dan nasib mereka tentu  hanya mengharapkan belaskasihan para penguasa; mereka mengharapkan kebaikan hati dari para Bupati dan para kepala dinas pendidikan agar dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

MOMENT PERBAIKAN NASIB

Upah bulanan atau tiga bulan-an yang dibayar tidak sesuai membuat para guru honorer tidak mampu membiayai kehidupannya, bahkan untuk kebutuhan harian pun sangat terbatas. 

Kesempatan Pemilu entah itu Pilpres atau Pileg, menjadi posisi tawar (bargaining position) yang sangat penting bagi para guru honorer untuk memastikan dan memperjuangkan nasibnya. 

Presiden, dan DPR yan terpilih mesti secara sunggung-sungguh memperhatikan nasib para guru honorer yang upahnya diberikan hanya dari belaskasih komite di sekolah-sekolah tempat mereka mengabdi. Harus ada kontrak politik antara para guru Honorer dan para calon legislatif atau calon presiden, agar janji politik saat kampanye tidak hanya sebatas janji-janji manis yang menghibur. 

Harapannya,  upah mereka tidak boleh tertinggal jauh dengan para pekerja pabrik yang tamatan SMA dengan keterampilan terbatas. Bahkan para guru Honorer, hemat saya harus digaji (dihargai) layaknya seorang manager di perusahaan, karena mereka bersusah payah mendidik para siswa/siswi untuk menjadi generasi yang berguna untuk bangsa ini.

Guru honorer adalah para pejuang kemanusiaan yang ulet dan sabar menenun nasib anak bangsa, agar menjadi pribadi yang berguna di masa yang akan datang. Para penenun tersebut (baca: guru honorer) tidak layak digaji murah, apalagi dibayar per tiga bulan, karena mereka bukan para pengemis jalanan yang hanya mengharapkan uluran tangan para penderma. 

Mereka adalah para pekerja professional, yang upahnya juga diberi dengan standar profesional dan bermartabat. Karena itu, ketidakpastian nasib mereka mesti menjadi prioritas para pemangku kekuasaan entah di pusat maupun di daerah, agar keringat dan air matanya untuk mendidik para generasi bangsa ini dihargai secara manusiawi dan bermartabat.

Harapan dan usaha para guru honorer untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah usaha dan harapan yang proporsional dan layak diapresiasi. Mereka tidak sekedar menuntut hak, tetapi kewajiban mereka sudah dijalani, dan bahkan mereka sudah membuktikan dengan bertahan selama bertahun-tahun sebagai honorer dengan upah yang sangat tidak layak.

Kepastian nasib mereka berbanding lurus dengan kepastian anak bangsa yang mereka didik, sehingga menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berguna untuk bangsa dan Negara. 

Oleh karena itu, membayar guru honorer dengan upah yang murah dan membiarkan mereka menunggu antrian untuk diangkat sebagai PNS, adalah sebuah tindakan pembiaran yang  tidak bermoral dan tindakan demotivasi oleh para pemangku kekuasaan yang hemat saya, bertindak tidak manusiawi, karena hak-hak mereka untuk hidup layak dan sejahtera secara ekonomi mesti menjadi prioritas; sebuah syarat mutlak yang harus dilakukan.

*Penulis adalah alumni STFK Ledalero dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta tinggal di Anaranda- Mautenda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun