Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sisi Lain dari Jurnalis Media Lokal

23 November 2011   14:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:17 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_145360" align="aligncenter" width="558" caption="diunduh dari google"][/caption]

Hampir sebulan lalu, saya ketemu sama seorang jurnalis muda yang saya tahu sebelumnya bekerja di media local milik perusahaan media besar yang berpusat di Surabaya. Biasa ketika ketemu, kita basa-basi dulu. Kebetulan saya dalam setahun ke depan harus membangun jaringan dengan banyak jurnalis karena saya sedang terlibat dalam ‘penelitian kecil-kecilan’ tentang PERDA yang bernuansa agama.

“ Sekarang masih bekerja di Koran….”

“ Ooo…gak lagi mas,sekarang saya bekerja radio”

“ Lho…kenapa pindah?,” saya coba mencari tahu.

“ Wah di koran itu berat banget mas. Masa saya di samping menjadi jurnalis harus nyambi di bagian pemasaran. Jadi setiap hari saya harus memasarkan koran sebanyak 50 eks, di samping harus mencari berita”

Saya kaget. Terus terang saya seperti tidak percaya. Bayangkan, koran lokal milik perusahan media besar masih memperlakukan jurnalisnya seperti ini. Mencari berita saja tidak mudah, apalagi harus nyambi memasarkan koran sebanyak 50 eks setiap hari. Wajar, berita yang ditulis oleh jurnalis media ini terasa kering.

Belum lagi isu yang ditulis selalu masalah-masalah politik yang tak menyentuh kebutuhan riil rakyat. Sementara banyaknya infrastruktur yang rusak, harga hasil tani yang murah, pengguna jamkesmas yang didiskriminasi di rumah sakit, mahalnya beras, dan lain-lain, jarang memperoleh space di koran lokal ini.

“ Mas, saya kan punya keluarga. Saya juga punya tetangga. Nah, bekerja di koran itu membuat saya capek. Karena capek, di rumah saya tidak punya waktu untuk main-main ke rumah tetangga,” katanya melanjutkan curhatnya.

Teman yang kebetulan satu kecamatan dengan saya ini akhirnya pindah menjadi jurnalis di sebuah radio. Menurutnya, di tempat kerjanya sekarang lebih santai. Ia masih bisa mengatur waktu antara bekerja, bertetangga, dan waktu untuk keluarga.

Jauh sebelum bertemu dengan teman ini, saya memang pernah dikontak sama seorang jurnalis lain koran ini, menawarkan apa sekolah saya akan ikut pemilihan guru favorit yang diadakan secara rutin setiap tahun oleh koran ini. Kalau mau ikut, menurutnya, sekolah saya harus membeli koran ini sebanyak 100 eks, karena di koran ini tersedia ballot yang harus digunting dan kemudian di isi oleh siswa.

Sebagai imbalannya, ketika acara pengguntingan dan pengisian ballot di sekolah saya akan diliput oleh koran ini. Pemilihan guru favorit yang diadakan koran ini, memang menjadikan siswa sebagai memilihnya. Karena persyaratannya harus beli koran sebanyak 100 eks, sekolah saya menolaknya.

Cerita teman tadi semakin menguatkan bukti bahwa koran local punya perusahaan besar ini telah menjadikannya sebagai robot. Pada hal, saya tahu, perusahaan media ini begitu sukses mengelola ragam media baik di tingkat nasional, maupun media local di hampir seluruh wilayah Indonesia. Termasuk sudah merambah ke media elektronik, seperti TV local. Jika ia pindah, hakikatnya ia mencari pekerjaan di tempat yang ia merasa lebih sebagai manusia, meski mungkin ia memperoleh gaji yang lebih kecil.

Matorsakalangkong

Sumenep, 23 november 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun