Mendengar ada dua murid baru saya mulai belajar minuman-minuman keras, saya terkesiap. Memang kasus kali ini bukan kasus yang pertama. Setidaknya beberapa kali sekolah menangani kasus ini. Tetapi dari catatan sekolah, angka kasus semacam ini tidak besar. Selama 3 tahun terakhir hanya ada dua kasus. Entahlah yang tidak diketahui.
Karena kebetulan anak tetangga, saya minta izin sama guru BK untuk menanganinya. Saya memanggil dua anak itu ke rumah. Saya memilih rumah, bukan sekolah, karena suasananya tidak terlalu formal. Di samping cara ini lebih nyaman bagi dua anak itu, karena tidak diketahui sama teman-temannya.
Saya memanggil dua anak itu tidak secara bersamaan, tetapi satu persatu. Kepada mereka saya konfirmasi kabar yang saya dengar. Yang pertama bilang kabar itu tidak benar. “ Saya tidak pernah minum”, katanya. Saya tak putus asa. Ketika saya minta satu saja, agar ia jujur, akhirnya ia bersuara. “Ya…saya pernah minum tapi sekali”.
Anak kedua lebih terbuka. Ketika saya konfirmasi kabar yang saya dengar, ia langsung bilang, “ya… saya minum”. Ketika saya tanya berapa kali, ia menjawab sekali. Saya tak percaya.“Kamu nongkrong kan tiap malam, masa sekali?,” pancing saya. Ia diam. Sambil menunduk, ia menjawab sudah minum dua kali.
“Oke…saya menghargai kejujuranmu. Soal kamu lebih dari dua kali minum, biar kamu sendiri dan Tuhan yang tahu,” kata saya singkat meski dalam hati saya curiga anak ini sepertinya sudah berkali-kali minum.
Dua anak ini sebenarnya teman satu tongkrongan. Pemanggilan satu-persatu dua anak ini menguntungkan saya sehingga saya tahu siapa yang tidak jujur. Dari informasi anak kedua saya jadi tahu bahwa anak pertama tidak sekali minum seperti pengakuannya.
Dari keduanya saya juga memperoleh informasi siapa yang mengajaknya. Ternyata yang mengajak seorang alumni sekolah saya yang putus kuliah di sebuah PTS di Malang danpindah ke PTS local. Ketika saya tanya, kenapa mau diajak minum? Salah satu dari mereka menjawab, karena kalau tidak minum dianggap tidak menghargai teman.
Jawaban seperti ini bagi saya tidak mengagetkan. Dalam “kelompok tongkrongan”, anggota yang tidak memiliki prilaku sama akan dikucilkan. Apalagi dua anakini memang terbilang masih junior. Meski saya juga beranggapan bahwa dua anak ini memiliki system pertahanan rapuh. Boleh dibilang, dua anak ini tidak memiliki prinsip. Mau diajak minum yang menurut moralitas agama dan masyarakatnya dianggap tidak patut.
Tetapi jika dirunut lebih jauh, dua anak ini sebenarnya korban. Di keluarganya mungkin mereka kurang menemukan suasana damai, sehingga harus mencari “kedamaian” di kelompok tongkrongan. Hal ini biasanya sangat terkait dengan pola kepengasuhan orang tuanya di rumah.
Sebenarnya soal minum di sekolah saya termasuk pelanggraran berat. Cuma untungnya dua anak ini sudah jujur dengan membuat pengakuan minum dan penyesalan untuk tidak mengulanginya lagi. Tugas saya selanjutnya adalah mengomunikasikan masalah ini kepada orang tuanya dan sesepuh desa. Setidaknya dua anak ini dalam waktu cepat sudah harus bisa menarik diri dari teman tongkrongannya.
Satu hal yang masih tersisa dari kasus ini, membangun anak yang memiliki karakter, teguh dalam prinsip, dan tegas dalam bersikap terhadap hal-hal yang merusak, bukan sesuatu yang mudah di zaman sekarang. Sekolah dan keluarga harus makin mendekat. Dipasrahkan sepenuhnya ke sekolah, saya rasa tidak mungkin.
Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah untuk mendidik anak menjadi anak cerdas tetapi juga berkarakter.
Matorsakalangkong
Sumenep | 9 September 2012
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI