Mohon tunggu...
Gatra Maulana
Gatra Maulana Mohon Tunggu... lainnya -

warga semesta yang sekedar ikut etika setempat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makin Banyak Tau, Mesti Kian Tahu Diri

25 November 2015   22:17 Diperbarui: 25 November 2015   22:48 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah yang lebih tabah dari mendengar gelagak tawa mereka?

jujur pada diri sendiri memang tidak gampang ? meminta maaf adalah hal mudah tetapi untuk mengakui kesalahan sendiri tentu tidak semua orang bisa melakukanya. Kita percaya bahwa kedewasaan bukan perkara umur, selain pilihan yakni kematangan cara berfikir. mungkin bagi beberapa orang kekerasan adalah simbolisasi dari kepuasan tersendiri, representasi dari ego manusia yang cenderung ingin mendominasi dan menguasi. Kekerasan tidak selalu urusan fisik, tetapi mulut yang beracun bisa membunuh orang dengan hanya sekejap mata.

Adakah yang lebih membahagiakan dari permainan drama ? seperti melakukan aksi lelucon dan konyol hanya karena inign terlihat seperti pelawak yang terkenal atau terlihat seperti manusia yang heroik. Adalah sebagaimana jika dilihat secara jujur, mungkin setiap hari  kita terlalu banyak membuang energi dan waktu  hanya karena ingin terlihat hebat dihadapan  orang lain atau teman-teman kita. Merasa diri paling benar, paling suci, paling berpengatuhan adalah kekeliruan yang paling purba yang pernah dimiliki manusia

ohh pembenaran ohhh pembenaran

siapa yang tidak suka menggunakan alat pembenaran. Pembenaran memang menjadi salah satu senjata ketika seseorang sudah berada dijalan buntu. Tak ada jalan lain selain melakukan aksi pembenaran dan pembenaran. Jika sudah kepepet seseorang biasanya pintar ngeles. Seperti abang fadlizon ketika bertengar argumentasi dengan nazwa sihab dalam acara mata nazwa (para pemburu rente).  Integritas seorang wakil ketua DPR tidak Nampak lagi ketika berada diruang publik, seolah apa yang keluar dari mulutnya hanyalah pembenaran dan pemberan, tak da argumentasi yang tidak memihak. Semuanya berisi pembelaan tanpa dasar keadilan.

Berada diantara orang-orang yang sok pintar, kita tampil bego itu heroic

jika menemui orang yang kiranya suka berdebat, pandai beretorika, bahkan sampai mendikte lawan bicara. Mungkin kita akan jenuh mendengar permainan retorika yang berujung pada sikap yang kurang menghargai pendapat orang lain. Retorika halnya busa sabun, kemilau diluar, keropos didalam. Tak ada guna kita melawan selain kita diam dan pura-pura bego ditengah-tengah orang-orang seperti itu

Tong kosong berbunyi nyaring, begitulah pribahasa lama menyebutkan.  Tapi meskipun pribahasa tersebut usianya sudah cukup tua, tapi masih menyisakan makna yang luar biasa jika kita mau merefleksikanya.  Seperti ilmu padi, semakin berisi kian semakin merunduk. Tak banyak orang mau memahami lalu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya.  Saya kira tak ada jaminan kaum-kaum yang berpendidikanpun dengan gelar berderet bisa menghemat bicara dan menjaga ucapanya.  Masyarakat sudah tahu yang bermukim digedung DPR itu yakni orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang menyandang gelar doctor bahkan sampai professor. Tapi aroma ironinya sangat menyengat bagi khalayak masyarakat. Nyaris setiap hari telinga masyarakat kita sudah kebal mendengar ocehan berita-berita kehebohan yang dilakukan anggota DPR.  Seorang wakil rakyat yang mesti melayani rakyat tetapi malah melayani hasrat dirinya. ahhh, saya tak perlu jelaskan lagi fenomena dan lelucon apa saja yang dilakukan para kinyis-kinyis anggota DPR.

Kecenderungan yang sama pula pemuka agama, Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, tidak jamin seorang yang berpengetahuan tinggi tentang agama, fenomenanya mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat, Korupsi, pemerkosaan, penipuan.  Menggunakan label agamanya di gunakan untuk kepentingan kelompok maupun kepentingan pribadinya. Hal ini justru menciderai nama agama itu sendiri.

seseorang yang berlatar belakang pendidikan, agama yang berpengetahuan tinggi Mestinya makin kian tahu diri. tahu diri merupakan salah satu dari sifat terpuji dan intlektualitas diri seseorang diukur dari bagaimana ia mampu mengendalikan dirinya serta mampu menjaga jarak dengan fikiranya.

Tak banyak orang dengan mudah mengakui kesalahanya, apalagi mengetahui dirinya secara holistik. ini dikarenakan egonya yang berkuasa atas dirinya. Berbagai macam sifat iri, dengki, bersemayam dalam dirinya. Padahal ketika sifat-sifat buruk tersebut sudah menjadi konsumsi setiap hari, sama saja menyiram api dengan bensin.  Mungkin “mereka” butuh kaca dari segala arah, untuk bisa  melihat diri sendiri barulah mereka sadar bahwa cara pandang terhadap kondisi dirinya salah total.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun