Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piet Tio, Tendangan Pisang Bola Bagai Diperintah (70)

6 Juni 2021   09:52 Diperbarui: 6 Juni 2021   10:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piet Tio  dengan cucu (dokpri)

 

Mungkin tidak banyak yang kenal nama ini, Kalau pun ada yang kenal, itu  pun  dalam jumlah yang terbatas dan sangat sedikit. Dilahirkan tahun 1940, Piet Tio yang kini memiliki nama Indonesia, Rahmat Jaya adalah rekan satu  tim dengan Ramang ketika PSM tampil sebagai juara Jusuf Cup I tahun 1965.

Berbeda dengan rekan satu timnya yang lain warga keturunan, Keng Wie (Budi Wijaya) yang bukan keturunan bola, Piet Tio memang keluarga bola. Ayahnya, Tio Eng Kaen, adalah salah seorang pemain Makassarch Voetbal Bond (MVB) pada tahun 1920. Makanya, dari rumahnya -- dulu -- di sekitar kawasan Jalan Bali Makassar, Piet Tio selalu datang ke lapangan Karebosi, baik untuk menonton orang  bermain bola maupun sengaja datang bermain bola.

Tio Eng Kaen, ayahnya,  pernah bertanding pada tahun 1920 dalam kejuaraan perebutan piala Ramadan yang ketika itu disebut sebagai Puasa Beker (Piala Puasa). Disebut seperti itu, karena kejuaraan tersebut dilaksanakan pada bulan puasa Ramadan. Bersama ayahnya itu, ada juga pemain lain seperti HT Thoeng, Oei Liong Keng, Go Giang Ek, Han Boen Hien, The Siang Liang, Thoeng Kong Gie, Tan Seng Tjan, Nio Kek Gie, Thoeng Liong Keng (penjaga gawang), dan Oei Soen Gie. Inilah kesebelasan warga keturunan yang sangat menonjol pada masa itu. Tan Seng Tjan termasuk kapten MVB ketika masa Belanda.

 ''Saya ini cinta bola. Juga sedikit ada bakat,'' kata Piet Tio ketika disambangi di kediamannya yang sangat asri dengan pepohonan besar di Jl. Yusuf Dg,Ngawing Blok E-26 No.18 Makassar, 19 Juni 2010.

Piet Ttio tahun 1950-an dalam usia belasan tahun sudah ikut-ikut latihan dengan  klub Excelsior. Klub ini termasuk salah satu anggota PSM. Dulu, ada klub VIOS (Voetbal Indisch on Sport) , MOS, Persis, dan CVB (Celebes Voetbal Bond), yang tidak lain pecahan dari MVB. CVB adalah klub yang didirikan oleh Excelsior yang banyak beranggotakan pribumi. Ada juga klub ISAP (Ikatan Sepakbola Angkatan Perang) yang di klub inilah Maulwi Saelan bergabung. PSM, kata Piet Tio, termasuk bond tertua di Indonesia.

Postur tubuhnya rata-rata identik dengan kebanyakan pemain PSM pada masanya. Ya, tidak beda-beda jauh dengan postur Ramang. Hanya saja sesuai latar belakang genetiknya, warga keturunan, dia berkulit putih. Ramang berkulit gelap. Produk keluarga yang lebih banyak bermain di daerah pesisir dan laut.

Piet Tio terjaring oleh PSM melalui hasil pengamatan komisi teknik PSM.  Para anggota komisi teknik terdiri atas Mappakaya, AJ Waworuntu, Nus Pattinasarani, M.Anwar, dan Suwardi menilai para pemain yang akan direkrut dalam suatu latihan pertandingan. Hasil pengamatan mereka inilah kemudian yang menjadi tim PSM pada masa itu. Khusus pada tim PSM 1965 yang ikut Turnamen Piala Jusuf (Jusuf Cup), selain Piet Tio, ada  Ramang dan Keng Wie. Tim inilah yang juga ikut Kejuaraan Nasional PSSI tahun 1966  dan tampil sebagai juara.

Dia mengaku yang berjasa kepadanya adalah sepupunya, Tong Hong Yu yang memperkuat MVB. Dialah yang memberikan Piet Tio sepatu pada saat usianya 15 tahun. Sepupunya itu termasuk pemain hebat. Dia dilatih Piet Nyio, ketika bermain di Klub Excelsior.

 Tendangan Pisang Patah

Dibandingkan pemain berkelas dunia saat ini, Ramang pada masa itu tidak di bawah mereka. Ramang adalah pemain yang luar biasa. Percaya dirinya sangat tinggi. Tembakan penalti yang dia lakukan tidak pernah gagal. Selalu masuk ke jala lawan.

Sebagai pemain yang bertipe keras, Ramang pun sepanjang karier bermain bolanya tidak pernah cedera. Piet Tio sendiri, pelipis sebelah kanan sempat sobek saat bertabrakan dengan teman sendiri ketika pertandingan untuk seleksi pemain yang akan berangkat mengikuti kejuaraan.

Seperti juga teman se-tim Ramang yang lain, rata-rata bola tendangan pojok dan tembakan salto, adalah sisi keterampilan Ramang yang mereka anggap sangat spektakuler. Dalam hal tendangan pojok, Piet Tio  menilai, apa yang dilakukan pemain Indonesia maupun dunia saat ini tidak ada apa-apanya, dibandingkan tendangan pojok yang dilepaskan Ramang.

Tendangan pisang banyak pemain dapat melakukannya, tetapi yang dilakukan Ramang selalu berbuah gol. Ironisnya, bola yang dikirim dari tendangan pojok melengkung tinggi, dan ketika mendekati pojok gawang, seolah menikung patah masuk ke jala lawan. Bola membelok tiba-tiba, dan tampak patah menjelang masuk ke gawang lawan. Pada umumnya, bola hasil tendangan pojok ini masuk menggantung di sudut atas gawang lawan paling ujung kanan atau kiri. Tergantung dari arah mana Ramang mengambil tendangan pojok. Begitu pun dengan tendangan voli, selalu menyulitkan penjaga gawang lawan. Biasanya, penjaga gawang selalu terlambat bereaksi. Si kulit bundar sudah menggetarkan jaringnya, ketika dia bereaksi.  

''Ini sangat luar biasa. Jadi, injo arenna (itu namanya), tembakan untia tepok (pisang patah),'' bungsu dari tiga bersaudara yang termasuk warga keturunan gado-gado (tidak totok) ini mengenang.

Dalam hal tendangan salto yang juga menjadi andalan Ramang, Piet Tio  mengatakan, jika pemain sekarang melakukan tendangan seperti itu, salah satu kakinya yang berada di udara menendang bola. Ramang justru seakan 'berguling' menembak salto bola tersebut ke jala lawan dengan dua-dua kakinya (meski satu yang menendang) melayang-layang di udara. Gaya seperti inilah yang oleh banyak teman main Ramang, menilai si macan bola itu memiliki daya dorong tendangan yang sama kerasnya pada saat salto dengan tendangan normal.

Piet Tio mengisahkan, dalam waktu-waktu luang, dia kerap bertemu dengan Andi Pangerang Petta Rani (alm.) mantan Gubernur Sulawesi Selatan. Pada kesempatan seperti ini, almarhum Karaeng Rani, demikian mantan gubernur itu karib disapa, tidak henti-hentinya mengagumi keluarbiasaan Ramang di lapangan hijau.

''Dalam 100 tahun ke depan, belum ada pemain yang dapat menggantikan Ramang,'' Karaeng Rani yang ketika itu adalah Penasihat PSM mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok pemain  yang kerap jadi momok kesebelasan lain ini.

Soal trio PSM, Piet Tio mengatakan, tidak ada duanya di kesebelasan mana pun di Indonesia kala itu. Mereka sudah saling tahu permainan masing-masing. Pernah, ujar Piet Tio, format trio ini dicoba di tim nasional. Sayang tidak jalan. Tetapi bukan karena aspek teknik, melainkan lebih kepada persoalan nonteknis. Jika trio PSM ini ''dihidupkan'' di tim nasional, akan terjadi kecemburuan di kalangan pemain. Para pemain lain akan merasa tersisihkan.

 (Tim Nasional juga punya trio, yakni Ramang, Djamiat Dalhar, dan Phoa Siang Liong. Hanya saja popularitasnya tidak sekondang trio PSM.)

Menurut Piet Tio, Suwardi adalah pemain otak berkaliber. Di belakangnya, Rony Pattinasarani-lah yang mewarisi kapasitas dan kemampuan Suwardi ini. Suwardi selalu menjebak pemain lawan agar merubungnya. Padahal, itu merupakan taktik agar seketika Suwardi memberi bola ke daerah,  Jika masih harus ke Noorsalam, yang terkenal dengan bola kop-nya, dia akan umpan.  Ramang yang biasanya sudah berlari spontan akan melepaskan tembakan gledeknya ke jala lawan. Kalau Ramang sudah bawa bola berarti wasit sudah harus siap-siap  membawa bola ke titik tengah lapangan lagi. Ya, pasca-jala lawan PSM baru saja bergetar.

Tidak hanya itu, setiap pemain PSM mampu membaca pergerakan lawan. Mereka harus tahu baca gerak lawan. Apakah suatu bola akan diumpan lambung atau tidak. Inilah yang tidak dimiliki lagi pemain kita sekarang. PSM dulu, mungkin secara tim dinilai kalah, tetapi dari aspek keterampilan individu pemain tidak kalah hebatnya.   .  

Piet Tio juga pernah diajak Ramang melakukan latihan keras. Mereka dibawa ke Pantai Losari. Kegiatannya, seluruh pemain disuruh lari turun naik di tembok beton di pinggir pantai tersebut hingga kecapean. Ketika tim menjalani pemusatan latihan di Gedung Olahraga Mattoanging,. Piet Tio dkk juga dibawa Ramang ke Kolam Renang Mattoanging. Aktivitas di kolam renang ini sebagai bentuk latihan peregangan otot dan kemampuan daya tahan napas.

''Mana ada pemain sekarang yang melakukan latihan seperti itu,'' kata ayah tiga anak berikut tiga cucu ini.

Dalam waktu-waktu santai, Ramang kerap mengisahkan pengalamannya. Pada suatu kesempatan, dia mengisahkan keinginan salah satu klub di Hongkong ingin meminangnya bermain di negara eks jajahan Inggris tersebut. Hanya, ketika itu Presiden Bung Karno tidak memberi peluang kepada pemain Indonesia bermain di tim luar negeri.

Seingat Piet Tio,  ketika tahun 1957, saat PSM juara PSSI pertama kali, Ramang selalu mengenakan nomor punggung 9. Nomor punggung ini selalu dimulai dari nomor urut terendah diawali penjaga gawang. Maulwi Saelan memperoleh nomor 1, disusul Sampara (bek kanan,2), Rairatu (bek kiri, 3), Makmur Chaeruddin (gelandang kanan, 4), Santja Bachtiar (poros halang 5), Itjing Pasande (gelandang kiri, 6), Mochtar (kanan luar, 7), Noorsalam (kanan dalam, 8), Ramang (penyerang tengah, 9), Suwardi (kiri dalam, 10), dan Kurnia (kiri luar, 11).

Jika  ada pergantian pemain, maka pemain baru akan mengenakan nomor punggung sesuai yang dia pakai. Dalam satu tim (PSM) kala itu, nomor punggung pemain hingga 18, sesuai jumlah pemain. (Bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun