Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bebaskan Beban Berat Generasi Sandwich

8 September 2022   15:08 Diperbarui: 12 September 2022   13:57 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi generasi sandwich (Sumber: Shutterstock)

Ketika tulisan saya tentang "Siapkan Dana Pensiun Agar Masa Tua Tetap Terjamin", ada seorang Kompasianer yang menyanggah bahwa di kalangan Batak ada filosofi/adagium "anakhonhi do hamoraon di ahu" yang artinya anakku adalah harta kekayaan bagiku.

Saya paham tiap budaya punya pemahaman yang berbeda tentang anak. Namun, perlu dipahami bahwa anak adalah bagian hidup dan tanggung jawab orangtua. Jadi berarti kita sebagai orangtua tidak seharusnya menuntut suatu kewajiban dari anak untuk membalas cinta kasih berupa dana yang telah kita habiskan untuk sekolah anak, apa pun alasannya.

Pengalaman di keluarga saya, anak lelakinya jadi tulang punggung keluarga karena dianggap anak itu sudah lulus dengan cum laude dari S1 dan S2 perguruan tinggi negeri di bidang matematika dan memiliki kedudukan baik di BUMN. 

Ternyata anak yang sudah baru berkeluarga itu pernah mengeluh kepada kami bahwa dia merasa keberatan menanggung semua biaya rumah tangga ayahnya karena dia sendiri belum memiliki dana untuk beli rumah, istrinya terpaksa bekerja, suami istri bekerja terpisah jarak pulau yang berbeda. Keluhan bukan sekali dikeluarkan, tetapi berkali-kali. Namun, dia tak berani mengatakan hal ini kepada orangtuanya sendiri.

Beberapa tulisan yang saya baca meminta anak memahami mengapa orangtua tidak sempat menabung untuk dana pensiun. Hal itu karena semua biaya dikonsentrasikan untuk keperluan sekolah anak. 

Ilustrasi generasi sandwich (Sumber: gramedia.com)
Ilustrasi generasi sandwich (Sumber: gramedia.com)

Nah sekarang, saya akan berikan umpan balik apa yang dialami oleh para generasi sandwich untuk beban berat yang mereka alami.

Seorang perempuan usia 48 tahun bernama Lita Susilawati, jadi beban generasi sandwich. Lita memiliki toko jus dan mie instan di Palmerah. 

Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal di tahun 2003. Dia menanggung semua biaya ibu dan 7 adik-adiknya sampai mereka lulus dari universitas dan menikah.

Sebelum pandemi, setiap minggu ia menyerahkan 1-2 juta Rupiah kepada ibunya. Ibunya yang membagi dana tersebut untuk dirinya dan adik-adiknya. Sementara Lita sendiri punya keluarga ini yang butuh biaya.

Sayangnya, ketika terjadi pandemi, pendapatannya sangat turun drastis. Hal ini membuat dirinya tak mampu memberikan dana kepada ibu dan saudara-saudaranya.

Contoh lain, seorang outsourced office boy bernama Dedi Ardila berusia 28 tahun. Gaji yang diterima oleh Dedi sebesar Rp 4,4 juta per bulan. 

Dari gaji ini, Dedi harus membagi dua yaitu Rp 2,5 juta dirinya dan dan 6 orang yang menjadi tanggungan di keluarganya. Nah, 6 orang itu adalah istri, anak, ibu dan ayah mertua serta kakak iparnya.

Sisa dari gaji itu digunakan untuk kebutuhan makan siang dan beli bensin. Di samping itu dia masih menyisihkan Rp 200 ribu untuk ibunya sendiri. Apabila ibunya minta uang Rp 500 ribu, maka seluruh dana gajinya akan habis ludes tidak bersisa. Apabila ada kebutuhan mendadak lainnya, dia terpaksa meminjam dana dari teman. 

Jadi pola hidupnya dari pinjaman satu ke pinjaman berikutnya untuk mengkover pinjaman pertama atau sering disebut gali lubang tutup lubang.

Mungkinkah memutus mata rantai generasi sandwich?

Potret generasi sandwich yang disurvei oleh Kompas sebanyak 504 responden dari 34 provinsi menunjukkan bahwa dari total 206 juta pekerja terdapat 56 juta pekerja produktif orang Indonesia merupakan bagian dari generasi sandwich. Mereka harus menanggung anak-anak mereka, juga orangtua mereka.

Menjadi tulang punggung keluarga plus orangtua membuat beban berat bagi mereka karena dia sudah harus menanggung dua generasi yaitu generasi di bawah (anaknya) dan generasi di atas (orangtua).

Menyedihkan sekali apabila mereka juga harus menanggung adik, kakaknya yang notabene belum bekerja atau membutuhkan dana.

Bagaimana generasi sandwich bisa meng-cover semua kebutuhan hidup yang besar itu?

Mereka terpaksa kerja keras. Ada yang kerja jadi supir ojek dari jam 6- 9 pagi, lalu kerja formal di kantor dari jam 9 -17.00.

Harapannya adalah mereka bisa hidup sejahtera, mencukupkan kebutuhan keluarga.

Namun, sekali lagi apabila para sibling dan orangtua tetap jadi beban berat dari generasi sandwich, maka mata rantai generasi sandwich tak akan pernah putus.

Untuk terlepas dari beban berat, sebaiknya para orangtua dan para siblings punya kemandirian keuangan. Kemandirian keuangan itu memang sulit dilakukan apabila orangtua tidak memaksakan diri untuk menabung dari muda untuk dana pensiun.

Jaminan sosial tidak didapatkan oleh mereka yang bukan pekerja sebagai PNS. Sebagai PNS pun saya mendapatkan dana pensiun kecil. Jadi kecil atau tidak pasti pensiunan PNS harus menyesuaikan gaya hidup dengan apa yang diterimanya.

Frustrasi sosial

Tantan Hermansah, seorang sosilogis dari Universitas Islam Negeri Jakarta menyampaikan bahwa keberadaan generasi sandwich terutama mereka dengan pendapatan rendah sangat mengkhawatirkan.

Kondisi dan keadaan memaksa generasi sandwich bekerja keras tanpa hasil yang cukup untuk menyejahterakan level kehidupan mereka.

Semua pendapatan diperuntukkan untuk kebutuhan keluarga inti (yang sudah menikah) dan keluarga besarnya. Sementara mereka melihat orang-orang yang menunjukkan gaya hidup mewah di media sosial. Mereka pasti punya impian ingin seperti mereka. Tapi impian mereka tak akan pernah tercapai karena barrier atau jarak yang jauh antara impian dan realitas yang mereka hadapi.

Bayangkan saja banyak generasi yang terjebak dalam generasi sandwich, mereka ini bekerja keras, tidak bahagia, tetapi kesejahteraan hidup tidak mereka dapatkan, mereka akan frustrasi. Frutrasi untuk mendapatkan "entertainment" yang dinikmati orang lain, tapi tak berdaya. 

Banyak anak muda untuk berpikir jauh dalam memutuskan untuk tidak berkeluarga, karena beban ekonomi semakin besar akan terjadi. Sebaliknya, jika penundaan berkeluarga itu terlalu lama, dampak masalah sosial akan terjadi di masa depan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun