Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tradisi Pelepasan Burung yang Memusnahkan Habitat Burung

6 Februari 2020   17:22 Diperbarui: 11 Februari 2020   09:40 2516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir setiap etnis di Indonesia punya banyak tradisi yang dilestarikan terus oleh pewarisnya atau penerusnya. Demikian juga dengan sebagian warga Chinese yang umumnya berasal dari kalangan middle class ke atas.

Jelang atau saat Imlek bukan hanya tradisi makanan, angpau, dan sembahyang saja yang dilanjutkan oleh warga Chinese, tetapi ada tradisi lain yaitu pelepasan burung.

Pelepasan burung biasanya dilakukan setelah mereka bersembahyang di Vihara.

Terlihatlah di salah satu Vihara di Jakarta yaitu Vihara Ekayana Arama di Jakarta Barat

Pada saat tahun baru Imlek yang lalu, setelah melakukan ibadah Tahun Baru Imlek, pengunjung  datang  ke penjual burung-burung  yang masih kecil. Pedagang musiman itu berdagang di dekat Vihara untuk mengais rejekinya.

Sementara para pembeli atau pengunjung yang baru saja ibadah Imlek itu memiki tradisi untuk membeli burung-burung  yang  masih kecil itu untuk  dilepaskan.

Memang jika dilihat harganya tidak mahal, RP 2.000 per ekor. Tetapi kebanyakan mereka memborong membeli burung itu, ada yang sampai 25 ekor, bahkan ada yang hingga jutaan.

Filosofi dari mereka dengan  melepaskan anak burung itu mengatakan agar mereka dapat banyak rejeki, sehat dan karma baik di tahun ini.

Bahkan pembeli menganggap bahwa melepas burung sebagai symbol menjalin hidup berkesinambungan dengan alam

Padahal faktanya sungguh amat berbeda. Anda menjerat burung untuk mengantarkannya ke kematian. Anda melepaskan di tempat yang tidak tepat.

Pembeli yang punya uang, membelinya hingga ratusan burung, dimasukan dalam satu kurungan. Kurungan bisa berbentuk plastik atau kayu.

Para burung itu tentunya diambil oleh penjual dengan cara yang tidak baik atau kurang bijak. Selayaknya anak burung yang masih kecil  itu hidup bebas bersama induknya.

Cara penangkapannya dengan alat penangkar yang menggunakan jaring di sawah, lalu dijerat, dimasukkan ke dalam kurungan.

Selayaknya pembebasan burung pipit itu tak bermakna atau tak bermanfaat sama sekali:

Habitat burung-burung kecil umumnya  adalah daerah tropis, belum termasuk satwa yang dilindungi. Bukan tempat kurungan. Ketika kita mengeksploitasinya sebagai barang dagangan, maka burung ini akan terkekang dari habitatnya.

Burung yang punya habitat di sawah dan tempat tinggi itu jadi lepas saat burung itu masuk dalam kurungan yang penuh dengan anak-anak burung lainnya, terjerat oleh para pedagang, pengepul, bahkan pedagang besar.

Mereka berpindah tangan dari satu tempat ke tempat lain, di mana mata rantainya sangat panjang. Perjalanan panjang di mana pedagang ini hanya berorientasi uang tanpa memikirkan makanan tepat untuk burung.

Mereka mengganggap mengapa diberikan makanan yang baik kepada burung, toh, sebentar lagi burung akan dilepas.

Kehidupan burung setelah dilepas menjadi simalakama buat anak burung.

Anak burung yang dilepas di suatu tempat, misalnya, di Pluit, tetapi induknya berada nun jauh di hutan atau di tempat yang tersembunyi di hutan. Sehingga anak burung akan kehilangan induknya dan kehidupan mereka akan buruk, karena hidup sendiri tanpa induk adalah sangat membahayakan keselamatan diri dan keberlangsungan kehidupannya.

Terlebih jenis burung  ini habitatnya bukan bertempat tinggal di suatu kota besar seperti Jakarta.  Tidak seperti burung gereja yang tumbuh besar dan tinggal di kota besar di rimba beton kota.

Jika anak burung itu dibiarkan hidup dan terbang di tengah kota besar seperti Jakarta, dia tidak bisa kehilangan arah hidup, bagaimana cara mencari makanan dan jenis makanan yang seharusnya dia makan tidak tersedia di kota Jakarta.

Seolah melepaskan anak burung di tengah kota adalah sebuah peringatan keras bagi pelepasnya bahwa kita membawa anak burung ini kepada kematian .

Ketika kematian anak burung itu tiba, bagaimana kita bisa berharap besar dengan keberlanjutan dari kehidupan anak burung. Apalagi tradisi ini dilakukan berulang kali setiap tahun. 

Ekologi mengajarkan dan menyadarkan kepada kita bahwa anak burung  itu menggunakan pohon sebagai tempat berlindungnya.

Saat tak ada lagi burung yang datang berlidung di pohon, artinya pohon itu lambat laun pun akan mati karena hama yang dideritanya.

Hilangnya populasi burung pipit merugikan pohon dan pohon mati menimbulkan kerusakan alam.

Akhirnya, hanya satu hal yang dapat jadi bencana bagi manusia yaitu kepunahan ekologi dan rusaknya alam,  penderitaan manusia pun akan bertambah lagi.

Mari kita gunakan akal sehat untuk mengganti tradisi pelepasan burung itu dengan hal yang lebih bermanfaat bagi kepentingan warga yang kekurangan seperti berikut ini:

  • Memberikan dana untuk dibelikan nasi bungkus dan dibagikan kepada mereka yang miskin dan kekurangan gizi.
  • Menyumbang rumah jompo, baik berupa uang tunai atau barang-barang keperluan mereka sehari-hari seperti beras, minyak goreng, susu bubuk, ovaltine, pampers, baju tidur, sandal, dan lain-lainnya.
  • Menyumbang panti asuhan dengan segala kebutuhannya yang begitu besar baik dana tunai maupun kebutuhan sehari-hari seperti beras, susu, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun