Mohon tunggu...
Hermanto Harun
Hermanto Harun Mohon Tunggu... Dosen - selau membutuhkan pengetahuan

Lahir di Batu Penyabung Sarolangun Jambi. Mengabdi kepada negara sebagai tenaga pengajar di beberapa institusi Pendidikan di Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sensitifitas Seorang Intlektual

10 Mei 2020   16:26 Diperbarui: 10 Mei 2020   16:23 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Coretan buku Jalan Pulang Prof Wan Mohd Nor Wan Daud

 Rasa sedikit berdebar, sekaligus sebuah kehormatan, ketika Profesor Wan Mohd Nor Wan Daud, seorang guru bagi saya, meminta untuk sekedar memberi komentar atas sebuah karya antonologi puisi yang secara umum berbentuk prosa bersajak. Karya tersebut beliau beri judul Jalan Pulang, terbit di Kuala Lumpur tahun 2020, yang mula ditulis pada 15 Januari 2013. Coretan penuh makna dalam Bahasa khas Melayu Malaysia ini merupakan karya beliau yang ketiga setelah terbitnya karya sejenis dengan judul Dalam Terang 2004 dan Mutiara Taman Adabi 2003.

Sejujurnya, debar dada dalam memberi komentar antonologi puisi ini berawal dari rasa kurang compidence, karena spesifikasi 'keahlian' keilmuan saya bukan pada bidang seni dan sastra. Walaupun, menulis puisi untuk sekedar curhatan isi hati juga bukan tidak pernah dilakoni. Karena acapkali, puisi menjadi tumpuan kata untuk mendialogkan kegundahan yang mengacaukan rasa dan gelora di dada.

Namun, rasa kurang compidence itu bisa dilalui dengan sedikit rilek sembari membaca ihwal kesastraan yang sudah begitu banyak bertebaran dalam berbagai bentuk narasi dan karya. Juga, dari segi budaya dan kebahasaan, budaya dan bahasa Melayu Jambi dan Malaysia juga tidak begitu berjarak, baik rasa (zauq) maupun dialek bahasanya.

Tapi, yang lebih membebani dari itu adalah status beliau sebagai seorang guru sekaligus pembimbing saya hingga saat ini. Bagaimanapun, seorang guru tidak pernah menjadi 'mantan' yang boleh dilupakan dan tidak dihormati ketika tidak lagi dibutuhkan. Bagi seorang murid, label murid tidak akan pernah lepas walaupun status hari ini telah menjadi seorang guru. 

Karena yang dicapai oleh seorag murid sekarang ini adalah berkat hibah jasa kebaikan dari orang-orang yang dahulunya mengajarkan huruf demi huruf sehingga bisa membaca lautan luas ilmu pengetahuan. Dari itu sangatlah wajar, jika Sayyidina Ali Bin Abi Thalib pernah berucap, saya adalah hamba bagi orang yang telah mengajarkan saya walau satu huruf (ana 'abd liman 'allamani harf).


Bermula dari membaca-karya beliau di Majalah Islamia, dan kemudian berjumpa dalam sebuah sesi seminar yang diadakan oleh Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (2004), disini saya mengenal sedikit pemikiran dan sosok Prof Wan Mohd Nor Wan Daud. Sentuhan pemikiran itu terus berlanjut, manakala saya melanjutkan studi doktor (Ph.D) di Malaysia tahun 2008. Ketika itu, beliau baru pindah dari Internasional Islamic University Malaysia (IIUM) dan mengabdi sebagai guru besar di Universisti Kebangsaan Malaysia (UKM). 

Di kampus ini lah perjumpaan terus merajut rapat, karena saya muqayyad sebagai mahasiswa Strata 3 dikampus nasional Malaysia ini. Di kampus ini juga kami digambleng, dibina dalam sebuah kelompok diskusi Ta'dib Community dengan beberapa teman sejawat dari beberapa universitas yang berasal dari manca negara. 

Bersama Prof Khalif Muammar, warga keturunan Indonesia yang menjadi pensyarah di Malaysia, kami mengadakan banyak agenda diskusi, bahkan sampai ke rumah beliau, yang memang disediakan ruangan untuk menggali berbagai pemikiran dan kelimuan, terutama kajian-kajian yang menyangkut tetang Islamic wordview yang banyak digagas oleh Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Prof Wan---sapaan kami kepada beliau---tidak pernah berhenti memberi semangat dalam menggali ilmu pengetahuan. Bahkan, di saat-saat bersua beliau, pembahasan ilmu senantiasa menjadi isu utama dalam perbincangan. Beliau tak henti memberi motivasi, juga mengajarkan sikap kritis terhadap pemikiran-pemikirian yang seolah tampak modern, kritis dan filosofis, namun hakekatnya adalah racun yang merusak akar peradaban khazanah keilmuan Islam.

Kepedulian beliau kepada ilmu pengetahuan menjadikannya sebagai ilmuan dan pemikir muslim yang berkelas di panggung Internasional. Sebagai murid dari ilmuan kelas dunia, Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Prof Fazlur Rahman, beliau telah banyak melahirkan karya yang berhubungan dengan pemikiran keislaman kontemporer. Semua itu, selain dari tugas wajib sebagai ilmuan yang mesti selalu memberi kontribusi terhadap arah peradaban Islam, juga sebagai ungkapan sensitifitas (hassas) seorang ilmuan terhadap realitas ummat  saat ini.

Acapkali sensitifitas seorang intlektual dituangkan dalam bentuk karya sastra sebagaimana para ulama terdahulu banyak menulis karya mereka dalam bentuk diwan yang berisi sya'ir-sya'ir tentang nasehat, ujaran hikmah dan bahkan kritik kepada penguasa di zamannya. Ungkapan dalam karya sastera juga banyak ditulis ulama nusantara, sebagai wasilah penyampaian nilai-nilai agama kepada umat, seperti  karya Hamzah Fansuri yang menulis Syair Dagang, Raja Ali Haji yang menulis Gurindam Dua Belas, bahkan Buya Hamka yang banyak menoreh novel sastra sebagai media penyambung dakwah risalah agama.

Jalan Pulang, sebuah karya Prof Wan dalam bentuk prosa bersajak---boleh jadi---berisi intuisi yang diluahkan dari akumulasi sensitifitas intlektual tentang kondisi kekeinian yang menimpa umat. Pilihan karya dalam gabungan Bahasa sajak, agaknya menjadi alternatif yang diyakini dapat menyambungkan segala bentuk sensitifitas intlektual itu menjadi bahasa kominikasi yang relevan. Karena, pilihan bahasa sering menjadi satu-satunya cara dalam menampakkan realitas dari sesuatu yang tak mampu dipendamkan dalam jiwa. Maka dalam tajuk puisi Kerugian, Prof Wan mengungkapkan sebuah kegelisahan; 

Raja dan menteri tidak sehaluan, Belanda Feringgi menjadi tuan. 

Alim ulama saling bersengketa, Si jahil tukil angkuh berbicara.

Sekolah universiti sibuk berniaga, Anak bangsa hilang adab keliru agama.

Masjid dan istana di tutup rapat, Sarang maksiat tempat berehat.

Bait ungkapan ini terasa berbincang tentang realitas keummatan yang hari ini sedang dirasakan. Kemudian dalam tajuk Kita dan Anai-Anai, terlihat bait-biatnya sebagai cermin dari sikap keilmuan sekaligus untaian harapan;

Perbedaan kecil biarlah mengalir, lihatlah pada niat, kebaikan lama terhasil.

Kegigihan melawan kejahatan pelbagai anasir, Yang jahil, yang zalim, yang angkuh degil.

Kehilafan sedikit janganlah dibuat bukit, dibangkit-bangkit di setiap surau, masjid

Hormatilah hujjah-hujjah dikutip, bintang-bintang ulama teratur tertib.

Dalam tajuk Makna Diri, intuisi harapan itu berlanjut. Bagaimana Prof Wan mengilustrasikan sebuah kekuatan besar yang mesti bermula dari kebersamaan. Meminjam ilustrasi dari sebiji pasir yang bisa memancak bumi dan sebiji kelapa yang dapat mengembangkan kepulauan yang menjadi awal membangun kekuatan.    

Sebiji pasir, jika mengenal makna diri, Menyatu menjadi gunung memancak bumi.

Sebiji kelapa mampu mengembangkan sebuah kepulauan, Setiap bahagian mensejahtera kehidupan.         

Ada banyak luahan dalam karya ini yang secara keseluruhan berjumlah 71 tajuk dengan 129 halaman. Semua terasa begitu kaya akan makna dan kandungan hikmah, serta tunjuk ajar kebaikan yang dapat dijadikan ibrah dalam renungan. Dalam membacanya terasa mengalir nasehat dan petuah dalam menuntun jalan menuju ridha Pencipta yang pebuh rahmah. Sebuah karya akan bermakna manakala ditulis dengan rasa tanggung jawab dan mengharap keberkahan berlimpah. Sebagai pesan beliau dalam buku ini; Karya ini seperti puisi saya yang lain juga, bukan manisan telinga, tetapi untuk renungan mendalam dan disusuli tindakan bijak, berani dan berimbang rasa, dan adil untuk semua.

Semoga setiap hurup dalam karya ini akan menjadi cahaya peenerang jalan, jariyah-nya senantiasa mengalir sampai waktu mengakhiri zaman. Sebagai seorang murid, saya tidak lelah berdoa, semoga segala ilmu yang pernah beliau hibahkan senantiasa menjadi pengingat dalam setiap bait doa yang saya lantunkan. Sebagaimana Imam Ahmad bin Hambal yang pernah berkata untuk sang gurunya Imam Syafi'I; saya tidak pernah tidur walau semalam selama tigapuluh tahun, kecuali saya berdoa untuk Imam Syafi'I dan memohonkan ampun kepada Allah untuknya. Amin. Wallahu a'lam.           

Hermanto Harun, Pensyarah Universiti Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saefuddin Jambi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun