Mohon tunggu...
Haniffa Iffa
Haniffa Iffa Mohon Tunggu... Penulis dan Editor

"Mimpi adalah sebuah keyakinan kepada Tuhanmu, jika kau mempunyai keyakinan yang baik kepada Tuhanmu, maka kau akan bertemu dengan mimpimu." #Haniffa Iffa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Khusnul Khotimah Nggeh Ning

12 Mei 2019   06:29 Diperbarui: 12 Mei 2019   11:54 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke 25, andai dia masih ada di dunia ini.  Aku sangat mencintainya, namun ternyata Tuhan lebih mencintainya.

Lagi-lagi bayangnya masih saja terpaut dalam jiwaku. Sampai detik ini, aku belum bisa mempercayai bahwa dia telah tiada.

Shubuh itu, seperti biasa, dia berpamitan padaku untuk setoran hafalan di pondoknya. Mengapa dia bisa berpamitan padaku? Karena 3 bulan yang lalu aku telah melamarnya, dan bulan Syawal nanti kami akan melangsungkan pernikahan. Iya, jika dia masih ada di dunia fana ini.

Hari itu tampak seperti biasa, tiada yang aneh. Namun ku ingat sekali, sebelum kejadian itu, aku memimpikan dirinya memakai pakaian serba putih, tampak sangat bersih, cantik, dan suci. Seolah aku melihat bidadari surga. 

Dia tersenyum padaku dari kejauhan, lalu berkata, "mas, aku pamit yaa". Padahal jika dalam dunia nyata, tidak pernah ada kata pamit ketika dia hendak melakukan apapun. 

Yang ada hanyalah kata, "mas, aku setoran hafalan dulu," , "mas, aku murajaah dulu, nggeh" , "mas, aku bantu bu nyai di ndalem dulu," , kira-kira seperti itulah ketika dia hendak melakukan sesuatu. Sama sekali tiada kata pamit yang terucap dari lisannya.

Saat itu pun, aku memimpikannya karena tertidur selepas menyimak hafalan  para santri. Semua tampak begitu nyata. Apalagi saat ku lihat senyumnya yang benar-benar membuatku terpesona. Subhanallah. Sangat cantik. Namun siapa tahu jika saat itu pula, dia tengah berpamitan padaku untuk menghadap kepada yang Maha Kuasa.

Saat aku tertidur pun, kata beberapa santri aku mengigau dan menyebut namanya. "Syifa Aulia Az-Zahra", demikian namanya. Ning Syifa, begitulah panggilanku padanya. 

Saat bangun pun, aku merasakan keringat dingin yang membuat jantungku berdegup kencang dan membuat perasaanku sungguh tak enak. Saat itu, yang ada dipikiranku adalah, ada apa ini Gusti? Ada apa dengan ning Syifa, kataku dalam hati saat itu.

Dengan spontan aku mengecek ponselku. Dan benar adanya, ada kabar bahwa ning Syifa tengah kritis di rumah sakit. Allah Yaa Rabb. Ada apa ini?

Saat itu posisiku ada di Malang, sementara ning Syifa berada di Jakarta. Bisa membayangkan bukan betapa bingungnya aku mencari cara yang paling tepat agar bisa ke Jakarta?

Dengan jiwa yang linglung, aku beranikan diri untuk berangkat ke Jakarta. Tentu saja tidak seorang diri, Abah dan Ummi ingin melihat kondisi calon menantunya secara langsung, karena kata Abah dan Ummi, saat ku tau kabar ning Syifa kritis, aku sempat pingsan tiga kali.

Sampai di Jakarta, ku lihat kondisinya yang tidak terlihat luka atau memar di bagian tubuhnya. Lantas bagaimana bidadariku bisa kritis? Kata dokter saat itu, justru benturan yang keras mengakibatkan luka dalam sehingga ada pendarahan di otaknya. 

Kata ibundanya, beberapa kali ning Syifa muntah, sempat muntah darah. Astaghfirullah. Allah Yaa Rabb. Saat itu, air mataku sudah tidak lagi bisa mengalir. Hatiku telah mati rasa. Apalagi melihatnya tidak berdaya seperti ini.

"Ketabrak mobil gus, setelah setoran hafalan, beliau menyempatkan untuk mampir di kantor pusat untuk mengatur pengajian untuk buka bersama. Lah qadarullah ada mobil yang melaju cukup kencang dan nabrak ning Syifa, akhirnya ning terlempar beberapa meter, saat dibawa ke rumah sakit sempat sadar, namun 3 jam kemudian kritis." Kata salah seorang santri menjelaskan.

Aku hanya bisa mengangguk saat dijelaskan demikian. Bagaimana mungkin aku bisa berkata sepatah katapun. Kantor pusat memang tidak terlalu jauh dari pondok. Tapi begitulah adanya jalan di Jakarta. Tidak pandai untuk berdamai dengan siapapun.

Dua hari setelah kritis, ning Syifa sempat sadar beberapa saat. Dia tersenyum padaku. Senyumnya persis yang ada di mimpiku saat itu. Ingat sekali, begitu indah dan cantik. Namun kurang lebih 30 menit kemudian, dia anfal dan akhirnya Tuhan berkehendak untuk memanggilnya di bulan mulia ini.

Ning Syifa Aulia Az-Zahra, aku Muhammad Fahmi Al-Faqih menjadi saksi atas kebaikanmu di dunia. Njenengan adalah orang yang baik, bahkan sangat baik. Sampai-sampai Tuhan pun memilihkan hari yang mulia untuk memanggil njenengan. Iya, hari jum'at pertama di bulan Ramadhan. Ning, khusnul khotimah, nggeh.

Semoga hafalan Qur'an njenengan menjadi lentera di alam kubur. Semoga ilmu-ilmu yang njenengan berikan kepada santri-santri menjadi amal jariyah njenengan ilaa yaumul kiyamah. 

Semoga keta'dziman dan ketawadhu'an njenengan bisa menjadi teladan bagi setiap muslimah yang mengenal njenengan. Ning, meskipun kita tidak dipersatukan di dunia, aku berharap kelak bisa reuni denganmu di jannah-Nya. Aamin aamin aamin Yaa Rabbal 'Alamin, Yaa Mujibassailin. Wallahu a'lam bisshowab.

Tangerang Selatan,
12 Mei 2019
Haniffa Iffa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun