Mohon tunggu...
Nanda Zayf
Nanda Zayf Mohon Tunggu... -

Ilegaleri Seart

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbok Sukasih

5 Maret 2017   13:05 Diperbarui: 29 April 2017   23:59 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pasar klandasan balikpapan 30 januari 2017. 23:00

         Kopi ini belum terkuras dari cangkirnya, tapi angin dari arah luar sudah mulai merambah ke kedai kopi yang berada di salah satu sudut lorong pasar. Sesekali,kilat menyala nyala dibarengi suara gemuruh pertanda akan hujan lebat segera mengguyur .  Aku putuskan sejenak berpaling dari cangkirku dan menengok keluar. Benar saja dugaanku. Awan hitam terlihat pekat seolah murka. Aku kembali pada cangkirku yang sudah mulai habis. Beberapa teman sebangku beda cangkir perlahan mulai berkemas, Berusaha secepat mungkin bisa terhindar dari kemurkaan awan hitam yang akan memuntahkan titik-titik air. 

Sedangkan aku, masih bersantai di tengah situasi kepanikan orang-orang. seakan merasakan pertanda buruk jika aku ikut berkemas seperti mereka. Kebiasaan yang tidak pernah membawa jas hujan meski aku tahu musim hujan sudah melanda kota ini,menjadi satu alasan untuk memaksaku untuk tetap tinggal dikedai kopi milik sahabat. Disamping itu, jarak kedai ini ke rumahku bisa menghabiskan waktu hingga satu jam. Dan itu sangat tidak memungkinkan jika aku tetap bertekad bulat melaju dengan keadaan jalan yang mungkin menjadi mengerikan. 

Aku meminta si barista untuk menuangkan kopi kedua kalinya pada cangkirku yang sudah tak berisi lagi sebagai teman menikmati sepi sunyinya lorong pasar yang sudah mulai tak bertuan. Hembusan angin semakin kencang segera menggiring hujan mengguyur pasar ini. Kilatan petir semakin sering menyambar memperlihatkan sisi gelap ujung pasar yang muram. 

Dan sesaat, suara hujan lebat berjatuhan ke tanah Klandasan menyerukan suara tepukan-tepukan meramaikan pasar beratap galvalum tua. Aku mencoba mengalihkan pikiranku kembali pada buku yang sedari tadi kupegang. Teman penikmat kopi yang bersebelahan denganku sedikit melirik apa yang kubaca. Buku apa yang sampeyan baca, Mas? tanyanya tak tahan dengan rasa penasarannya.Ternyata dia terpancing akan diamku saat berkonsentrasi pada buku ditengah kesunyian suasana pasar yang terpecah karena suara hujan. 

Dia terus menepisku dan memaksaku menjelaskan apa yang sebenarnya menarik dari buku itu sehingga aku hampir acuh pada sekitar yang tengah asik dengan dunianya sendiri. Ini novel biografi yang bercerita tentang sepenggal pengalaman hidup pejuang kemerdekaan yang tak dianggap, jelasku sambil sesekali meneguk kopi yang masih panas. Barista kedai ini pun ternyata tertarik dengan apa yang kuceritakan. Dia terlihat tenggelam dalam angannya membayangkan seolah-olah dia turut berada dalam cerita itu.


          Gemericik rintik hujan sudah mulai jarang terdengar. Sepertinya awan hitam sudah mulai tenang dan pergi ke tempat lain. Hanya menyisakan udara dingin tengah malam, membangunkan tikus-tikus untuk mencari pangan. Teman cangkir sebelah akhirnya memutuskan untuk pulang lebih dulu. Entah apa dia paham benar dengan apa yang kuceritakan tadi atau tidak . Tinggallah aku berdua dengan sang barista yang juga si empunya kedai. Kami berdua saling bertukar cerita untuk membunuh waktu. 

Hembusan angin dari ujung lorong membawa suara samar-samar jejak kaki yang menyeret di lantai. Konsentrasiku menyimak cerita si barista buyar seketika. Semakin mendekat dan semakin jelas suara langkah yang terdengar berat. Pikiranku dipenuhi oleh tanda tanya. Bulu kudukku mulai berdiri dan merinding. Aku mencoba menenangkan diri karena sudah dikuasai dengan hal-hal yang sudah dijelaskan nalar. "Tunggu sebentar,"kataku menyela cerita si barista. "Kenapa, Mas?"tanya si barista terheran-heran melihat tingkah anehku. Aku memberanikan diri dengan sisa-sisa nyali yang terkikis pikiran buruk untuk menengok ke sumber suara langkah itu. 

Kudapati seorang wanita tua yang membungkuk menyisir lantai lorong pasar dengan sebuah sapu lidi. Wanita itu terus menggoyangkan sapunya dari ujung kegelapan lorong hingga sampai di teras depan kedai kopi yang kusinggahi. Permisi, Mas, sapanya padaku. Di antara kerutan-kerutan kasar di wajahnya, masih ada senyum tipis menghiasi bibirnya. Kubalas senyumnya sembari meraih cangkirku kembali. Kuteguk kopiku yang tinggal separuh. Lamat-lamat kuperhatikan langkahnya hingga menghilang tertutup kios sebelah. Itu nenek yang tiap malam membersihkan lorong pasar, sahut barista mencuri perhatianku. Kuperhatikan jarum jam yang melingkar di tangan kiriku, sudah menunjukkan hampir pukul 01.00 WITA. 

Keningku berkerut. Pikiranku seolah diserbu dengan rasa penasaran. Sambil meneguk kopiku kesekian kalinya, aku memaksa si barista menceritakan tentang nenek penyapu lorong pasar yang dikatakannya tadi. Tak puas mendengar cerita dari si barista, aku memutuskan untuk beranjak dan meninggalkan cangkir kopiku di atas meja, lalu kususul nenek tadi sebelum jejaknya menghilang lebih jauh. Entah apa yang menyebabkanku harus menyusul nenek tadi. Hasrat keingintahuanku tentang hidupnya sangatlah kuat.

          Menyususuri lorong pasar yang sepi dan remang-remang dengan langkah seribu. Hingga aku dikejutkan dengan lompatan kucing dari atap yang mencoba memicu jantung untuk berdetak lebih kencang. Sepertinya ini lebih mengerikan dibanding uji nyali di tayangan televisi yang penuh settingan. Tiupan angin membangunkan bulu tipis pada lenganku. Tikus dan curut pun berhamburan tanpa arah seakan mengawal langkahku menyusuri lorong pasar. Suara gangsir yang sudah lama bungkam kembali dengan teriakan khasnya karena panggilan hujan. Semakin kumasuki lorong pasar, semakin sunyi dan mencekam suasana di sekitarku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun