Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sulasmi dan Kesabaran yang Tak Pernah Luntur

25 September 2025   11:23 Diperbarui: 25 September 2025   11:23 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sulasmi dan Kesabaran yang Tak Pernah Luntur | doc pribadi

Di sebuah sudut tenang di Tenggara, kala fajar menyingsing dan kabut tipis mulai terusir mentari, terdengar alunan khas dari pakaian yang diperas oleh tangan-tangan renta. Irama ini, berpadu dengan gemericik air yang menyegarkan, telah menjadi melodi kehidupan Sulasmi selama lebih dari tiga dekade. Di usianya yang senja, Sulasmi tetap setia menjadi buruh cuci, sebuah profesi yang mulai tergerus zaman modern dengan hadirnya mesin cuci di setiap rumah.
 
Jejak waktu terukir jelas di tangannya yang keriput dan berurat, saksi bisu dari ribuan helai pakaian yang telah ia bersihkan. Aroma sabun colek yang khas melekat di sela jari-jarinya, kapalan yang mengeras menjadi perisai di telapak tangannya, dan kulit yang meradang akibat deterjen adalah peta perjuangan yang tak pernah ia sesali. Namun, di balik semua itu, terpancar wajah teduh yang menenangkan. Seolah Sulasmi ingin berbisik bahwa kerja keras, seberat apa pun, akan terasa ringan jika dijalani dengan hati yang ikhlas.
 
Namun, roda zaman terus berputar. Kehadiran jasa laundry kiloan yang semakin menjamur perlahan menggerogoti pundi-pundi rezekinya. Jika dulu ia bisa mencuci untuk lima keluarga setiap minggu, kini ia hanya mendapatkan kepercayaan dari dua atau tiga pelanggan saja. "Rezeki itu sudah ada yang mengatur, Nak. Selama tangan ini masih kuat menggenggam, saya akan terus berusaha," ujarnya lirih, sembari mengucek selembar kemeja lusuh dengan penuh ketelitian.
 
Ironi kehidupan terasa begitu nyata. Mesin cuci modern mampu berputar ribuan kali dalam hitungan menit, namun tak mampu menandingi putaran tangan Sulasmi yang sarat akan kesabaran dan cinta. Sabun cair dengan aroma lavender dan mawar mungkin menawarkan kesegaran yang memikat, namun tak mampu mengalahkan aroma alami pakaian bersih yang dibilas dengan tangan Sulasmi---aroma rumah, aroma ketulusan yang tak ternilai harganya. Laundry kiloan menjanjikan kepraktisan, namun Sulasmi memberikan sentuhan personal: setiap helai pakaian diperlakukan dengan kasih sayang, seolah milik keluarganya sendiri.
 
Sembari menghela napas panjang, Sulasmi memandang deretan pakaian yang berjemur di halaman rumahnya. "Hidup ini seperti selembar kain," tuturnya bijak, "ada yang mudah dibersihkan, ada pula yang nodanya membandel. Namun, dengan kesabaran, semua akan kembali bersih." Kata-kata sederhana yang mengandung wejangan kehidupan yang mendalam.
 
Namun, realitas hidup tak bisa diabaikan. Penghasilan yang terus menyusut memaksanya untuk menunda berbagai kebutuhan. Ia hanya ingin terus menyekolahkan anak bungsunya hingga meraih cita-cita. "Saya tidak ingin mereka mengalami kerasnya hidup seperti saya," ucapnya lirih. Di tengah buih sabun yang bertebaran, tersimpan mimpi sederhana namun mulia: agar anak-anaknya dapat meraih kehidupan yang lebih baik, lebih bersih dari getirnya kehidupan.
 
Sering kali aku merenung, Sulasmi bukan sekadar mencuci pakaian. Ia juga membersihkan waktu, menghapus debu-debu kehidupan dengan kerja keras yang tak kenal lelah. Di setiap bilasannya, terucap doa agar cuciannya membawa berkah bagi keluarganya. Di setiap perasannya, tersimpan harapan agar anak-anaknya dapat menggapai masa depan yang lebih cerah.
 
Di tengah dunia yang serba cepat dan teknologi yang semakin canggih, ada nilai-nilai luhur yang tak tergantikan oleh mesin. Kesabaran, ketulusan, dan doa yang terucap dalam setiap gerakan tangan---itulah kekuatan Sulasmi. Dan mungkin, di era yang serba instan ini, kita perlu belajar dari seorang buruh cuci sederhana di Tenggara: bahwa ada jalan hidup yang lebih bermakna, lebih bersih, jika dijalani dengan hati yang tulus dan penuh cinta.


 
"Mesin mungkin mampu membersihkan noda di kain, namun hanya hati yang sabar yang mampu menyembuhkan luka kehidupan."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun