Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lilis, Aroma Pagi, dan Doa-Doa yang Digoreng

23 September 2025   09:37 Diperbarui: 23 September 2025   09:37 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lilis, Aroma Pagi, dan Doa-Doa yang Digoreng | doc pribadi

Di ambang pagi yang masih malu-malu, Pasar Tenggara sudah menggeliat. Bau minyak panas bercampur riuh rendah pedagang dan langkah kaki tergesa pembeli yang mengejar waktu. Jalanan yang semalam diguyur hujan masih basah, seolah bersaing dengan kepulan asap gorengan yang menari dari wajan besar di tepi trotoar. Gemericik minyak mendidih menciptakan irama unik, berpadu dengan klakson angkot yang tak sabar dan teriakan pedagang sayur yang bersahut-sahutan.

Di tengah hiruk pikuk itu, berdiri Lilis. Perempuan paruh baya dengan wajah yang mulai dipahat waktu itu telah lebih dari sepuluh tahun bersahabat dengan panasnya wajan. Sutil panjang di tangan kirinya bergerak mantap, sementara tangan kanan cekatan memasukkan adonan bakwan, tahu isi, dan tempe mendoan. Satu per satu, gorengan itu berputar dalam pusaran minyak panas, berubah keemasan yang menggugah selera, menebar aroma yang sanggup memanggil siapa saja untuk singgah.

Lilis bukan sekadar penjual gorengan biasa. Ia adalah potret ketangguhan seorang ibu. Senyum tulusnya menjadi sapaan hangat pagi hari. Tak jarang, pembeli hanya mampir sebentar, membeli beberapa buah bakwan lalu pergi. Namun, bagi Lilis, setiap lembar uang yang berpindah tangan adalah doa sederhana: semoga rezeki cukup untuk sekolah anak-anaknya, semoga hari ini lebih ringan daripada kemarin.

Tangan Lilis menyimpan jejak perjuangan. Kulitnya menghitam karena jelaga kompor minyak tanah yang setia, ditambah luka-luka kecil akibat percikan minyak. "Namanya juga cari rezeki, Mas," ujarnya ringan ketika seorang pembeli menatap perihatannya. Lilis lebih suka bercerita tentang anak-anaknya yang duduk di bangku SMP, atau mimpinya memiliki gerobak lebih layak---yang bisa melindunginya dari hujan dan panas.

Tak banyak yang tahu, sebelum mentari terbit, Lilis sudah bangun pukul tiga pagi. Ia menghaluskan bumbu, mencacah sayuran, meracik adonan tepung. Sementara orang lain masih terlelap, ia sudah menyalakan kompor bututnya. Maka setiap gorengan yang matang bukan sekadar camilan pengganjal perut, melainkan hasil dari perjuangan melawan kantuk, dari mimpi yang dikejar dengan mata berat.

Ironisnya, banyak pembeli datang dengan mata terpaku pada layar ponsel, memesan gorengan tanpa menoleh. Telinga tersumbat earphone, bibir sibuk mengeluh soal berita di media sosial. Bahkan ada yang tega menawar dengan nada tinggi---padahal harga ponsel mereka cukup untuk membeli seluruh gerobak Lilis. Mereka lupa, di balik setiap gigitan gorengan ada keringat yang menetes dan doa seorang ibu yang tak terdengar.

Kadang Lilis terdiam sejenak, memandangi lalu lintas yang makin ramai. Mobil-mobil mewah berderet, orang berdasi tergesa, pelajar berseragam bercanda riang. Ia tahu, hidupnya bertumpu pada wajan yang tak pernah berhenti mendidih. Wajan itu saksi bisu cinta seorang ibu yang diuji setiap hari, tempat doa-doa sederhana dipanjatkan tanpa kata.

Di tengah kepulan asap yang menyesakkan, Lilis tetap hadir. Ia mungkin tak punya ribuan pengikut di media sosial, tak dikenal di luar lingkaran kecil Pasar Tenggara. Namun tiap pagi, ia mengisi perut banyak orang, memberi tenaga sebelum mereka bekerja, belajar, atau sekadar melanjutkan perjalanan. Bukankah itu pelayanan yang paling nyata?

Aku sering berpikir, gorengan Lilis bukan sekadar makanan. Bakwan renyah adalah bait-bait perjuangan, tahu isi yang panas tanda cinta yang tak terhingga, tempe mendoan gurih adalah halaman-halaman harapan. Semuanya lahir dari tangan yang kasar tapi hati yang hangat.

Ketika siang tiba dan pasar berangsur sepi, Lilis mengemasi sisa dagangan. Beberapa gorengan ia bungkus untuk anak-anak di rumah. Mendorong gerobaknya yang reyot, ia tersenyum kecil---senyum yang tulus dan penuh syukur. Baginya, hari itu sudah cukup: cukup untuk makan, cukup untuk sekolah, cukup untuk terus memelihara harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun