Pagi di kota kecil bernama Tenggara selalu hadir dengan riuhnya yang khas. Jalanan depan pasar lebih mirip arena adu klakson daripada jalur lalu lintas yang tertib. Parkir liar tumbuh subur, menantang keberadaan lampu lalu lintas yang lebih berfungsi sebagai dekorasi kota. Warga hanya bisa menghela napas, menerima keadaan ini sebagai bagian dari identitas Tenggara.
Â
Di tengah keriuhan itu, Warung Kopi Mbok Sarmi hadir sebagai oase kecil. Warung sederhana dengan papan nama yang hampir lepas dan kursi kayu reyot yang setia menemani pelanggan. Namun, di sanalah denyut nadi kehidupan banyak orang dimulai. Tukang ojek, pedagang sayur, hingga pegawai pasar, semua mencari energi di warung Mbok Sarmi sebelum memulai hari.
Â
Mbok Sarmi, seorang perempuan dengan rambut yang didominasi warna putih dan keriput yang menceritakan kisah hidupnya, adalah tokoh utama di balik setiap cangkir kopi. Dengan tangan yang cekatan meski kadang bergetar, ia menuangkan air panas ke dalam gelas enamel sambil menyunggingkan senyum khasnya.
"Mau yang kental atau enteng, Nak?" sapaannya selalu sama, menawarkan pilihan sederhana di tengah kompleksitas hidup.
Â
Namun, tak banyak yang tahu bahwa Mbok Sarmi jarang tidur nyenyak. Malamnya diisi dengan menyiapkan dagangan dan menemani cucu semata wayangnya yang masih kecil hingga terlelap. Anak dan menantunya telah lebih dulu berpulang, meninggalkan luka dan tanggung jawab di pundaknya. Pagi adalah medan pertempuran Mbok Sarmi melawan kantung mata demi sesuap nasi untuk anaknya.
Â
Para pelanggan menikmati kopi untuk menghilangkan kantuk, namun jarang yang peduli dengan perjuangan Mbok Sarmi. Senyumnya dianggap sebagai bonus, padahal itu adalah perisai yang menyembunyikan lelah dan doa-doa yang tak terucap.
Â
Di jalanan, petugas sibuk menilang pelanggar lalu lintas, sementara parkir liar dibiarkan merajalela. Pedagang bakso memutar musik dangdut dengan volume maksimal, berusaha menarik perhatian pembeli. Mbok Sarmi hanya bisa pasrah saat suara ketelnya kalah dengan hingar bingar musik yang menggelegar sejak subuh.
Â
Terlintas dalam benakku sebuah pertanyaan: Apakah manisnya gula dalam kopi Mbok Sarmi lebih tulus daripada janji manis para politisi? Apakah pahitnya kopi hitam itu lebih getir daripada kenyataan hidup yang harus ia jalani dengan tegar?
Â
Namun, Mbok Sarmi tak pernah mengeluh. Baginya, setiap cangkir kopi adalah wujud syukur atas berkat Tuhan yang masih memberinya kekuatan untuk menyekolahkan cucunya dan menjalani hari-hari dengan penuh makna.
Â
Kisah Mbok Sarmi hanyalah satu dari sekian banyak kisah yang tersembunyi di sudut-sudut kota Tenggara. Ada banyak wajah lain yang menggantungkan hidupnya di pinggir jalan, berharap ada yang sudi meluangkan waktu untuk sekadar menoleh dan menghargai keberadaan mereka.
Â
Kota kecil ini menyimpan banyak cerita. Hari ini tentang seorang ibu penjual kopi, esok mungkin tentang tukang tambal ban atau pedagang asongan. Di balik hiruk pikuk kota, ada kehidupan yang diam-diam menyeduh kehangatan, menunggu dunia untuk benar-benar merasakannya.
Â
"Kadang kita hanya ingin kopi instan, padahal seseorang telah menyeduh hidupnya semalaman penuh."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI