Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Trotoar Tanpa Tujuan

22 Agustus 2025   08:35 Diperbarui: 22 Agustus 2025   08:35 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trotoar Tanpa Tujuan | pixabay

Catatan Hari ke-13 oleh Pak Dhe

Trotoar di kota Tenggara bukan lagi jalur untuk pejalan kaki. Ia lebih mirip panggung improvisasi: tempat parkir motor, lapak jualan yang buka seenaknya, bahkan kadang jadi ruang tamu sementara bagi keluarga pemulung yang sekadar ingin rebah sejenak. Garis putih yang dulu digambar rapi oleh petugas kini tinggal coretan yang tak punya arti. Papan petunjuknya entah di mana, barangkali sudah lama diganti spanduk diskon cuci gudang.

Di sudut tertentu, ada pot bunga setinggi betis. Dulu barangkali dimaksudkan untuk mempercantik kota, sekarang ia hanya jadi tong sampah terbuka. Tak ada bunga, yang tumbuh justru puntung rokok, plastik bekas minuman, dan botol air mineral yang sudah remuk diinjak. Orang-orang yang lewat pun sudah malas menoleh; toh pemandangan itu sama saja tiap hari, sama seperti berita pagi yang isinya sekadar ulang tayang dari keluhan lama.

Orang kota ini sudah lama berhenti berjalan kaki. Katanya capek, katanya panas, katanya debuan. Padahal yang sesungguhnya: mereka tak pernah diberi alasan untuk mencintai langkah kaki. Trotoar yang harusnya jadi teman perjalanan justru berkhianat, berubah jadi lapak yang mengusir, atau jalur alternatif motor yang ingin menghindari macet. Dan jika ada yang nekat berjalan, ia harus siap berbagi ruang dengan mesin yang meraung dan klakson yang marah.

Pagi tadi, di depan Kantor Pos Lama, aku melihat seorang bapak tua berjalan pelan, tas plastik di tangan, entah berisi apa. Ia mencoba melangkah di trotoar, tapi baru dua meter, sudah ada sepeda motor melompat naik dan memaksa jalan. Bapak itu menepi, wajahnya tanpa protes. Ia berhenti di tepi pot bunga kosong, duduk sebentar, lalu menyesap kopi dari gelas plastik. Kopi itu lebih hangat daripada tatapan siapa pun kepadanya. Aku ingin menegurnya, tapi entah mengapa suara tercekat. Rasanya percuma.

Di warung kopi sebelah, beberapa orang sudah biasa memperbincangkan hal ini.
"Trotoar itu kan buat jalan kaki, kok jadi parkiran?" tanya seorang bapak.
"Lha wong motor aja sekarang lebih betah di atas trotoar daripada di jalan," jawab yang lain.

Lalu mereka tertawa getir, seolah kelucuan bisa jadi obat sakit hati. Seseorang nyeletuk,
"Jangan-jangan sebentar lagi keluar iklan: Sewa trotoar murah, harga bersahabat."

Tawa pun pecah lagi, kali ini lebih nyaring, tapi entah mengapa justru terasa menyedihkan.

Mungkin suatu hari pemerintah akan sadar pentingnya trotoar. Tapi biasanya kesadaran itu datang hanya ketika ada tamu penting dari luar negeri. Saat itu, trotoar akan dipoles, dibersihkan, dipasang bunga plastik, bahkan dijaga Satpol PP supaya terlihat "tertib." Begitu tamu pulang, semua kembali ke asal. Trotoar pun seperti artis sinetron: cantik hanya saat syuting, berantakan di belakang layar.

Ironisnya, kita justru sering dipaksa bersyukur. Katanya: "Setidaknya kita punya trotoar. Di kota lain malah lebih parah."
Seakan-akan penderitaan itu lomba. Kalau ada yang lebih sengsara, berarti kita wajib bahagia. Padahal rakyat hanya ingin hak sederhana: berjalan tanpa takut diserempet motor, tanpa harus melompat-lompat menghindari genangan got.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun