Mohon tunggu...
Deff Neehaya
Deff Neehaya Mohon Tunggu... -

Menyukai dunia anak, berbagi di Taman Kanak-kanak. Menggemari bacaan dan tontonan, belajar menulis dan mencipta tokoh. Sedang belajar ^_^

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Berbagi Cerita Perjalanan Cianjur-Bandung

5 Januari 2013   05:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:29 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Warung Kiara, 4 Agustus 2012



Siap Melakukan Perjalanan

Terik matahari Agustus menyilaukan mataku. Padahal aku hanya mengintipnya dari jendela teras. Kutarik nafas panjang. Dalam hati menguatkan tekad, tidak mau mengurungkan niatku untuk berangkat, cuma gara-gara panas. Ya, aku pun siap melakukan perjalanan.

Pukul 2 siang, aku dan sahabatku, Neng, berpamitan kepada Mama dan Kakak. Aku mencium punggung tangan Mama seperti kepada mama sendiri, aku menghormati kakak seperti kepada kakakku sendiri dan aku tinggal di rumah sahabatku, Neng, seperti di rumahku sendiri. Kenyataannya mereka hanyalah keluarga angkatku.

Hari ini aku dan Neng harus ke Bandung untuk memenuhi pesanan kue kepada para pelanggan. Kami mengangkut 5 dus kue dan 1 kantong belanjaan yang cukup berat ke pinggir jalan raya. Untungnya jarak yang harus kami tempuh tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya terhalang sebuah sorum mobil, kami pun sudah sampai di mulut jalan dengan “cengiran” bidadari gurun.

Beberapa menit kemudian, mobil jemputan pun datang. Ayo tebak mobil apakah yang akan kami naiki? Warnanya hitam, kepalanya mirip mobil angkutan merah yang lalu lalang di kota Cianjur dan badannya tidak beratap… hehe akhirnya kalian tahu. Ya, jenis mobil ini kami sebut mobil buntung atau mobil budugul, mobil koldolak… whatever. Kami mulai menaikan kardus-kardus berat itu ke badan mobil, mengamankannya dengan tali tambang dan barulah kami duduk di kepala mobil. Tepat disamping Akang Supir yang mulai menginjak pedal gas. Bruuummmmm… mobil pun melaju kencang. See u… Cianjur.

***

Cuap-cuap dalam Kemacetan

Sepanjang jalan Cianjur sampai Tagog Apu aku tertidur pulas. Di bawah sengatan matahari siang dan gejolak rasa lapar. Namun rasanya malah seperti sedang berada dalam buaian ibu kandungku di kampung. Hangat dan kuat untuk tidak merasa kenyang karena sedang shaum Ramadhan.

Sampai di pintu masuk jalan tol Padalarang, kesadaranku hadir seiring dengan angin yang menyusup ke celah jendela mobil. Sejurus hanya memandang jalanan yang membentang panjang. Lalu melirik Neng, mata-mata kami pun beradu membuat bibir yang sepat membentuk perahu layar. “Gawat nih, supir kita mengantuk!” bisiknya.

“Harus diajak ngobrol teh!” kataku spontan.

“Justru itu…… aku bingung ???”

Hem… aku dan Neng sama-sama berpikir keras. Akhirnya percakapanpun dimulai dengan agak terpaksa. Berawal dari dunia anak-anak, tepatnya anak siAkang Supir. Lalu ke masa-masa muda siAkang.

“Kang, dulu ikutan Gamapala ya? Suka naik gunung gitu?” tanyaku dari balik cadar. Ya, aku pakai ciput ninja berwarna ungu tua. Kunaikkan penutup wajah dan hanya mata yang nampak. Alasanku menutup wajah masih ringan saja, karena aku tidak suka debu jalanan.

SiAkangTop of Form mulai mengambil ancang-ancang bersuara, setelah mengendalikan setirnya di jalanan yang padat-merayap. Macet. “Ehmm..” suara beratnya menggetarkan kumis, janggut dan godegnya. “Yaa, dulu seringlah…” kalimatnya menggantung.

Aku tunggu-tunggu suara berat siAkang keluar lagi, tapi rupanyaBottom of Form tidak muncul. Sementara Neng sudah ke alam lain, kepalanya manggut-manggut tanpa suara. Aku hawatir wajahnya yang ayu itu jatuh kepundak siAkang. Jadi, sesigap mungkin aku buru-buru menariknya kepundakku. Blek. Lumayan berat.

“Aku punya teman-teman di FLP Kang, kami senang berpetualang. Yah, kalo ada kesempatan, inginlah naik gunung buat rihlah” ucapku kemudian.

“FLP itu apa?” tanyanya.

“Forum Lingkar Pena, komunitas kepenulisan gitu..”

“Ohh, atuh kalau begitu ga usah naik gunung. Kalo mau naik gunung mah murni aja anak-anak P-A (Pencinta Alam)”

“Hem.. anak-anak PA di Cianjur sudah tidak seramai dulu lagi kang…”

Obrolan kemudian melebar pada problematika komunitas dan persahabatan. Waah ini sangat menarik bagiku! Bayangan wajah sahabat-sahabatku di FLP, di Kampus, di tempat kerja, di keluarga dan di semua tempat yang ada langsung melayang-layang.

“Menurut kamu apa bedanya teman dengan sahabat?”

Aku tertawa-tawa sebelum menjawab pertanyaan siAkang. Rasanya dua istilah itu tidak asing ditelinga, tapi untuk memverbalkannya menjadi sebuah definisi, malah jadi rancu. “Mhhh.. ini hanya pendapat aku saja ya Kang. Mungkin kalau teman itu cukup dengan saling berbuat kebaikan, tapi ga punya misi buat diraih bersama-sama. Nah, kalo sama sahabat kita memiliki kesamaan misi dan barusaha meraihnya bersama…”

“Hemmmm……” lagi-lagi siAkang meggantung suara beratnya di udara. Bersaing dengan deru kendaraan di jalan tol Padalarang. Aku pun menunggu tanggapannya sambil memandangi pohon-pohon asing yang berjajar di sisi sebelah kanan.

“Sebenarnya bisa saja sahabat itu memiliki banyak misi yang berbeda-beda… Tetapi kira-kira apa sih yang bisa membuat mereka menganggap kita adalah sahabatnya?”

“Apa ya?” aku seperti pura-pura bego. Kedua mataku nanar terus membayangkan wajah-wajah sahabatku. “Bagiku, mereka dikatakan sahabat ketika ada apa-apa mereka akan kembali kepada kita. Mereka curhat dan percaya kepada kita.”

“Nah itu dia! PERCAYA kepada kita.” Seru siAkang riang. Aku melirik ke arahnya dan menangkap uban-ubannya dari sudut mataku. Seolah ikut menari riang, ubannya kian menyebar memenuhi kepala, warnanya putih seperti gigi Wahsy yang tampak ketika tersenyum.

“Ketika mereka sudah percaya kepada kita, mereka pasti mudah menerima kita. Upayakan juga bagaimana caranya supaya mereka menjadikan kita sebagai sahabat mereka!” ungkap siAkang bersemangat.

“Buat mereka nyaman dengan kita” sahutku.

“Ya, betul sekali.” siAkang manggut-manggut. Sambil menancap gas lalu rem lagi karena masih macet.

Tiba-tiba Neng bersuara. “Jadi intinya mah, dengan sahabat itu harus menjalin kepercayaan!” dia menyimpulkan dengan mata sipit, lalu “blek” kepalanya jatuh lagi ke pundakku. Ahhhh…aku terkekeh.

Obrolan semakin menghangat ketika siAkang menyempatkan diri membuka Al-Quran ditengah kemacetan. Aku baru sadar kalau di depan setir ada AlQuran kecil berwarna merah. Sungguh menjadi penyejuk yang luar biasa. SiAkang membacakan terjemahan Q.S An-Nisa ayat 97-100. Isinya menyinggung tentang sahabat dalam komunitas di zaman Rosululloh.

Udah Mau Nyampe…

Kini pintu tol Padalarang sudah tertinggal di belakang kami. Sebentar lagi kami melaju ke arah tol Buah Batu. Ohh, di sana lagi-lagi kami menikmati kemacetan. Rupanya sedang ada pelebaran jalan, makanya laju kendaraan tersendat.

Seperti anak kecil, aku tak bosan memperhatikan aktivitas yang terlihat di depan mata. Orang-orang dengan rompi seragam bertanda X nampak sedang lesehan di atas batu koral dan gelindingan. Supir-supir truk yang melirikku dengan heran. Padahal biasanya orang-orang Jawa akan tersenyum ketika bertemu pandang, Tapi kali ini tidak. Ohya, mungkin karena wajah cantikku tertutup ciput-cadar. Selain itu, aku juga sibuk memikirkan nama-nama pohon yang masih asing. Dalam benakku, ‘nanti akan aku tanyakan ah sama temenku di IPB’. Juga nama-nama mobil yang beragam melintas di depan. ‘Tapi kalo soal mobil mungkin aku bisa tanya ponakanku yang lulusan otomotif’.

Pukul lima lebih, kami sampai di depan rumah kontrakan keluarga Neng yang sudah lama tinggal di Bandung.

Cerita yang dituliskan, usai. ^_^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun