Seperti apa yang disampaikan Buya Hamka di atas, harta kekayaan yang kita miliki adalah rangkaian dari keinginan-keinginan yang teraktualisasi, tapi jangan sampai masuk ke dalam hati. Karena dampaknya akan berbahaya juga, khususnya bagi stabilitas batin dan akal sehat.
Masalahnya adalah (ini juga pembelajaran bagi penulis sendri) saat mendapatkan sesuatu, bukan mensyukuri dan menyadari bahwa itu adalah titipan -- dari Tuhan, tetapi menganggap itu adalah kepemilikan dan siapapun tidak berhak untuk memilikinya. Tidak heran saat ini justru kondisi yang sering kita jumpai adalah tentang masalah mental.
Rasa memiliki memang boleh, tetapi mengakuisisi hak atas kepemilikan itu adalah satu kondisi yang lain. Karena pada dasarnya rasa waswas, khawatir, serba curiga, enggan tersaingi, eksistensi diri, dan kondisi yang menyibukkan hati lainnya adalah dampak dari sikap yang kerap mengakuisisi.
Oleh sebab itu, biasa-biasa saja. Menjalani hidup dengan hemat, dengan efisien dan sesuai proporsi adalah salah satu contoh yang dilakukan dan dianjurkan oleh Kanjeng Nabi. Jadi sunnah kanjeng nabi itu banyak, tidak hanya itu-itu saja. Justru yang berkaitan dengan kualitas sosial keagamaan adalah uswah yang harus ditanam-tirukan.
Apa yang kita miliki dan hasilkan dari luar diri kita adalah anugerah yang harus dijaga dan disyukuri. Tetapi mengabaikan kesadaran untuk menjaga efisiensi dan proporsionalitas dalam menjaga akal sehat dan hati nurani adalah satu kecerobohan yang sangat dibenci oleh Tuhan; berlebih-lebihan.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI